Jumat, 04 Februari 2011

PERIODE KEMUNDURAN ISLAM ( IBNU KHALDUN )




Makalah Ini
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Sejarah Peradapan Islam
Dosen Pengampu : Drs. Nurisman, M.Ag


Disusun oleh:
Uswatun Khasanah, S.Hi
NIM: 26.10.7.3.069


PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SURAKARTA
2011




BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan dalam Islam merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Karena dengan ilmu pengetahuan, Islam dapat membawa umatnya kepada sesuatu yang lebih baik. Dengan perhatian yang baik terhadap bidang pendidikan maka Islam tidak akan mengalami pasang dan surut. Agar pendidikan dalam Islam mengalami kemajuan yang pesat, harus mengadakan inovasi dan perubahan dan sanggup mempertahankannya. Sehingga seberapa kuatnya pihak lain ingin merusaknya maka mereka tidak akan sanggup.
Tidak akan terlepas dari kemunduran. Demikian juga dalam pendidikan Islam, ada mengalami kemajuan dan kemunduran. Islam yang pernah menguasai ilmu pengetahuan dan memiliki banyak para ahli ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang, akhirnya terpuruk juga dikarenakan berbagai hal yang terjadi di dalam tubuh Islam itu sendiri. Berikut akan dibahas pendidikan Islam pada era kemunduran.











BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Ibnu Khaldun
Nama lengkap ibnu khaldun adalah Abu Zayd 'Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Khaldun al-Hadrami. Ibnu Khaldun hidup antara abad ke-14 dan 15 M (1332-1406 M) bertepatan abad ke-8 dan 9 H. Mesir pada waktu itu berada di bawah kekuasaan Mameluk, Bagdan jatuh ke tangan Tatar (654-923 H). Keberadaan Bagdad di bawah kekuasaan Tatar sangat berdampak negative terhadap perkembangan bahasa, sastra dan kebudayaan Arab. Pada waktu yang sama kerajaan Muslim di Andalus mulai runtuh, satu per satu kota-kota utama kerajaan tersebut jatuh ke tangan orang-orang Kristen.
Setelah jatuhnya Bagdad, ulama-ulama dan satrawan Bagdad demikian juga sebagian ulama-ulama Andalus mengungsi ke Mesir. Cairo pada waktu itu menjadi pusat peradaban dan Khilafah Islamiyah, kedatangan mereka di kota Cairo disambut baik oleh orang-orang Mamalik, sehingga mereka merasa tenang dan tentram. Perlu disebutkan juga bahwa pada abad ke-8 H. (abad ke-14 M) adalah masa perubahan dan transisi di seluruh dunia. Perubahan dan transisi kea rah perpecahan dan kemunduran di dunia Arab, perubahan dan transisi kea rah kebangkitan di dunia Barat (Al-Husari, 1967: 53). Revolusi-revolusi dan kekacaun-kekacauan mulai meluas di Afrika Utara, sebagai akibat perpecahan-perpecahan regional dan meluasnya fanatisme golongan. Hal tersebut berpengaruh negative terhadap kebudayaan Arab pada waktu itu.
Dalam buku At-Ta’rif disebutkan bahwa keturunan Ibnu Khaldun digolongkan kepada Muhammad ibnu Muhammad ibnu Hasan ibnu Jabir ibnu Muhammad ibnu ibrahim ibnu ‘Abd al-Rahman ibnu Khalid yng dikenal dengan nama Khaldun. Berbagai referensi menyebutkan bahwa namanya adalah ‘Abd ar-Rahman ibnu Khaldun al-Magribi al-Hadrami al-Maliki. Digolongkan kepada al-Magribi, karena ia lahir dan dibesarkan di Magrib di kota Tunis, dijuluki al-Hadrami karena keturunannya berasal dari Kadramaut Yaman, dan dikatakan al-Maliki karena ia menganut mazhab Malik. Gelar Abu Zaid diperoleh dari nama anaknya yang tertua Zaid, panggilan Wali ad-Din diperolehnya setelah ia menjadi hakim di Mesir.
Kakek Ibnu Khaldun, Khalid ibnu ‘Usman dan keluarganya menetap di kota Carmone untuk beberapa waktu dan kemudian hijrah ke kota Sevilla. Banu Khaldun berhasil menjabat beberapa jabatan penting dalam bidang ilmu pengetahuan dan politik di kota ini, antara lain Kuraib inb Khaldun terkenal dalam bidang ilmu pengetahuan. Ibnu Hayyan (nama lengkapnya Abu Marwan hayyan ibnu Khalf ibnu Husain ibnu Hayyan al-Qurtubi ‘377-469 H’) adalah seorang sejarawan Andalus. Dalam hal ini menegaskan bahwa kedudukan Banu Khaldun di Sevilla sangat terkenal, pemuka-pemuka mereka pada saat itu senantiasa memegang tampuk pemerintahan dan ilmu pengetahuan.
Pada awal abad ke-13 M, kerajaan Muwahhidin di Andalus hancur, sebagian besar kota-kota dan pelabuhannya jatuh ke tangan raja Castilia termasuk kota Sevilla (1248 M). Banu Khaldun terpaksa hijrah ke Afrika Utara mengikuti jejak Banu Hafs mengangkat Abu Bakar Muhammad, yaitu kakek kedua Ibnu Kahldun untuk mengatur urusan Negara mereka di Tunisia, dan mengangkat kakek pertama beliau Muhammad ibnu Abu Bakar untuk mengurus urusan Hijabah (Kantor urusan Keistanaan/Kenegaraan) di Bougie (Bijayah).
Ibnu Khaldun dilahirkan di Tunisia pada bulan Ramadhan 732 H/1332 M di tengah-tengah keluarga ilmuwan dan terhormat yang berhasil menghimpun antara jabatan ilmiah dan pemerintahan. Dari lingkungan seperti ini ibnu Khaldun memperoleh dua orientsi yang kuat: pertama, cinta belajar dan ilmu pengetahuan; kedua, cinta jabatan dan pangkat.
Ayahnya bernama Abu ‘Abdullah Muhammad juga berkecimpung dalam bidang politik, kemudian mengundurkan diri dari bidang politik dan menekuni ilmu pengetahuan dan kesufian. Beliau ahli dalam bahasa dan sastra Arab. Meninggal dunia pada tahun 749 H/1348 M akibat wabah pes yang melanda Afrika Utara dengan meninggalkan lima orang anak termasuk ‘Abd al-Rahman ibnu Khaldun yang pada waktu itu berusia 18 tahun.
Menurut Sari al-Husari, kehilangan Ibnu Khaldun akan kedua orang tuanya pada usia yang masih remaja merupakan salah satu factor yang dapat mengurangi keterikatannya terhadap keluarga dan tempat kediamannya serta membuka kesempatan baginya untuk berkelanan dan terjun ke dunia politik diberbagai pelosok Magrib.
Ibnu Khaldun mengawali pendidikannya dengan membaca dan menghafal Al-Qur’an. Kemudian baru menimba berbagai ilmu dari guru-guru terkenal sesuai dengan bidangnya masing-masing. Tunisia pada waktu itu merupakan pusat ulama dan sastrawan besar kota-kota di Masyriq dan Magrib dilanda wabah pes yang dakhsyat pada tahun 749 H, sehingga Ibnu Khaldun kehilangan kedua orang tuanya dan beberapa orang gurunya, ia tidak dapat melanjutkan studinya dan akhirnya hijrah ke Magrib.
Menurut Dr. Ali ‘Abdul Wahid Wafi, ada dua factor yang menyebabkan Ibnu Khaldun tidak dapat melanjutkan studinya: pertama peritiwa wabah pes yang melanda sebagian besar dunia Islam mulai dari Samarkand sampai ke Magrib. Adapun factor kedua, hijrahnya sebagian besar ulama dan sastrawan yang selamat dari wabah pes dari Tunisia ke Al-Magrib al-Aqsa pada tahun 750 M/1349 H bersama-sama dengan Sultan Abu al-Hasan, penguasa dawlah Bani Marin. Ibnu Khaldun menganggap peristiwa wabah pes ini sebagai bencana besar dalam hidupnya yang menyebabkan ia kehilangan kedua orang tuanya dan sebagian guru-gurunya.
A1. Guru-guru Ibnu Khaldun
Telah dijelaskan, bahwa Ibnu Khaldun lahir dan dibesarkan di tengah-tengah keluarga ilmuwan yang terhormat. Ayahnya Abu ‘Abdullah Muhammad adalah gurunya yang pertama. Darinya ia belajar membaca, menulis dan bahas Arab. Di antara guru-gurunya yang lain adalah Abu ‘Abdullah Muhammad ibnu Sa’ad bin Burral al-Ansari, darinya ia belajar al-Qur’an dan al-Qira’at al-Hasayiri, Muhammad al-Syawwasy al-Zarzali, Ahmad ibnu al-Qassar dari mereka Ibnu Khaldun belajar bahasa Arab. Di samping nama-nama di atas Ibnu Khaldun menyebut sejumlah ulama, seperti Syaikh Syams ad-Din Abu ‘Abdullah Muhammad al-Wadiyasyi, darinya ia belajar ilmu-ilmu hadits, bahasa Arab, fiqh, dan dari ‘Abdullah Muhammad ibnu ‘Abd as-Salam ia mempelajari kitab al-Muwatta’ karya Imam Malik.
Di antara guru-guru terkenal yang ikut serta membentuk kepribadian Ibnu Khaldun, Muhammad ibnu Sulaiman al-Satti ‘Abd al-Muhaimin al-Hadrami, Muhammad ibnu Ibrahim al-Abili. Darinya ia belajar ilmu-ilmu pasti, logika dan seluruh ilmu (teknik) kebijakan dan pengajaran di samping dua ilmu pokok (Qur’an dan Hadits).
Namun demikian, Ibnu Khaldun meletakkan dua orang dari sejumlah guru-gurunya pada tempat yang istimewa, keduanya sangat berpengaruh terhadap pengetahuan bahasa, filsafat dan hukum Islam, yaitu Syaikh Muhammad ibnu Ibrahim al-Abili dalam ilmu-ilmu filsafat dan Syaikh ‘Abd al-Muhaimin ibnu al-Hadrami dalam ilmu-ilmu agama. Darinya Ibnu Khaldun mempelajari kitab-kitab Hadits, seperti al-Kutub al-Sittah dan al-Muwatta’. Pada usia 20 tahun Ibnu Khaldun berhasil menamatkan pelajarannya dan memperoleh berbagai ijazah tadris/mengajar dari sebagian besar gurunya setelah ia menimba ilmu dari mereka.
Betapun, menurut Taha Husain pendidikan yang diperoleh Ibnu Khaldun pada masa kecil dan dewasa bukanlah suatu hal yang luar bias dan tidak melebihi apa yang diperoleh siswa dan mahasiswa al-Azhar dewasa ini. Walaupun dikatakn bahwa pendidikan yang diterimanya begitu hebat jika dibandingkan dengan taraf pendidikan di tanah airnya.
A2. Murid-murid Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun mempunyai sejumlah besar murid, baik pada waktu beliau mengajar di Tunisia di jami’ al-Qasbah maupun pada waktu mengajar di Cairo (al-Azhar dan tempat lain). Di antara murid-muridnya yang terpenting dan kenamaan antar lain:
a) Sejarawan ulung taqi ad-din Ahmad ibnu Ali al-Maqrizi pengarang buku al-Suluk li Ma’rifah Duwal al-muluk. Pada buku ini, al-Maqrizi mengungkapkan bahwa guru kami Abu Zaid Abd al-rahman ibnu Khaldun dating dari negeri Magrib dn mengajar di al-Azhar serta mendapat sambutan baik dari masyarakat
b) Ibnu Hajr al-‘Asqalani, seorang ahli hadits dan sejarawan terkenal (wafat 852 H). Dalam bukunya raf’u al-Isr ‘an Qudah Misr sebagaimana yang dikutip oleh ‘Abdullah inan menjelaskan bahwa ia sering mengadakan pertemuan dengan Ibnu Khaldun mendengar pelajaran-pelajaran yang berharga dan tentng karya-karyany terutama tentang sejarah.

B. Periode Kemunduran Islam
Pendidikan dalam Islam merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Karena dengan ilmu pengetahuan, Islam dapat membawa umatnya kepada sesuatu yang lebih baik. Dengan perhatian yang baik terhadap bidang pendidikan maka Islam tidak akan mengalami pasang dan surut. Agar pendidikan dalam Islam mengalami kemajuan yang pesat, harus mengadakan inovasi dan perubahan dan sanggup mempertahankannya. Sehingga seberapa kuatnya pihak lain ingin merusaknya maka mereka tidak akan sanggup.
Namun, sekuat apapun kejayaan dan kemajuan itu dipertahankan, suatu saat juga tidak akan terlepas dari kemunduran. Demikian juga dalam pendidikan Islam, ada mengalami kemajuan dan kemunduran. Islam yang pernah menguasai ilmu pengetahuan dan memiliki banyak para ahli ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang, akhirnya terpuruk juga dikarenakan berbagai hal yang terjadi di dalam tubuh Islam itu sendiri. Berikut akan dibahas pendidikan Islam pada era kemunduran.
Setelah mengalami masa kejayaan, umat Islam mengalami masa kemunduran dalam berbagai bidang. Hal ini dimulai dengan runtuhnya kekuasaan Islam di Bagdad dan di Cordova.
Bagdad yang merupakan pusat kedaulatan Abbasiyah yang pertama kali dipimpin oleh Abu Abbas As Saffah, telah menguasai berbagai daerah yang ada dan memimpin daerah tersebut. Di bawah kekuasaan daulah Abbasiyah Islam mengalami kemajuan dalam berbagai bidang terutama dalam bidang pendidikan. Para pemimpin daulah Abbasiyah lebih memikirkan bidang pendidikan daripada daulah umayyah sebelumnya yang lebih focus pada bidang kemiliteran.
Daulah Abbasiyah sangat menonjol dalam bidang pendidikan pada masa kekhalifahan Al Makmun. Khalifah Al Makmun adalah seorang yang sangat mencintai ilmu pengetahuan diatas segalanya dan dia juga selalu memikirkan agama Islam dengan ilmu pengetahuan tersebut. Dia berusaha mengembangkan ilmu pengetahuan dan menerjemahkan buku-buku dari Yunani serta mengembangkan ilmu-ilmu dengan mendapatkan temuan baru. Filsafat Yunani yang bersifat rasional menjadikan Khalifah Al Makmun terpengaruh dan mengambil teologi Mu’tazilah menjadi teologi negara. Dalam masa itu, Islam menjadi Negara yang tak tertandingi dalam bidang pendidikan serta banyak memberikan sumbangan ilmu pengertahuan terhadap dunia.
Namun setelah silih bergantinya Khalifah, Islam mulai mengalami kemunduran terhadap bidang pendidikan. Hal ini juga berhubungan dengan keruntuhan daulah Abbasiyah sebagai suatu kedaulatan yang besar. Terjadinya jurang pemisah antara kekhalifahan dan komunitas keagamaan terutama dalam hal “ kemakhlukan Al Qur’an “ yang membuat terjadinya perselisihan antara beberapa kelompok. Kelompok yang satu mengatakan bahwa Al Qur’an itu adalah amkhluk yang diciptakan oleh Allah dan kelompok yang satu lagi menyatakan bahwa Al Qur’an merupakan Kalam Allah, bukan makhluk
Hancurnya Islam pada masa daulah Abbasiyah dapat dikelompokkan menjadi factor interen dan factor eksteren yaitu :
a) Adanya persaingan tidak sehat antara beberapa bangsa yang terhimpun dalam daulah Abbasiyah terutama Arab, Prsia dan Turki
b) Adanya konflik aliran pemikiran dalam Islam yang sering menyebabkan timbulnya konflik berdarah
c) Munculnya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dari kekuasaan pusat di Bagdad. Dikarenakan lemahnya penerus khalifah selanjutnya maka banyak kerajaan-kerajaan kecil yang memberontak terhadap daulah Abbasiyah dan ingin membentuk dinasti sendiri.
d) Kemerosotan ekonomi akibat kemunduran politik. Pada awalnya daulah Abbasiyah adalah suatu kerajaan yang kaya akan harta, tetapi dikarenakan penerus khalifah berikutnya terbiasa bermewah-mewah sehingga keuangan menjadi terbuang sia-sia tanpa digunakan untuk hal yang berguna.
e) luasnya wilayah kekuasaan. Untuk mengatur daerah kekuasaan yang luas ini, diperlukan rasa saling percaya antar penguasa dan bawahannya. Tapi pada masa-masa akhir daulah Abbasiyah, kepercayaan inilah yang hilang diantara mereka.
f) dominasi militer. Pada masa khalifah al Mu’tasim, banyak direkrut jajaran militer dari budak-budak Turki. Dan ada sebagian dari mereka yang diangkat menjadi gubernur untuk memimpin suatu daerah. Namun, pada kelanjutannya mereka secara perlahan mengendalikan pemerintahan. Ini juga disebabkan pengauasa daulah yang lemahdan tidak mampu melawan mereka, sehingga memberi mereka kesempatan untuk mengatur pemerintahan.
Adapun dari bidang eksterennya adalah :
a) Perang salib yang terjadi dalam beberapa gelombang
b) Hadirnya tentara mongaol dibawah pimpinan Hulagu Khan, yang menghancurkan daulah Abbasiyah dan membakar seluruh buku-buku ilmu pengetahuan yanga ada di Bagdad
Sebab yang terakhir inilah yang menjadi puncak runtuhnya daulah Abbasiyah di Bagdad serta mundurnya bidang pendidikan lebih tampak nyata. Sedangkan kemunduran di Cordova pada masa daulah Umayyah II. Daulah Umayyah II yang dipimpin pertama kali oleh Abdurrahman Ad Dakhil yang merupakan pelarian dari penguasa Abbasiyah. Puncak kekuasaan daulah Umayyah II terjadi pada masa pemerintahan Abdurrahman III dan Al Hkam. Kemajuan pada masa itu terlihat dalam berbagai bidang antara lain bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan intelektual. Di Cordova yang merupakan pusat daulah Umayyah II telah berdiri suatu universitas yang terpercaya dan mampu menandingi dua universitas besar lainnya, yaitu universitas Al Azhar di Kairo dan Nizamiyah di Bagdad. Universitas ini menarik banyak mahasiswa, baik mahasiswa kristen maupun mahasiswa dari negara Eropa lainya.
Pertemuan antara peradaban Arab Islam dengan peradaban masyarakat setempat menjadikan daerah itu pada masanya mempunyai kebudayaan Islam yang tinggi. Sehingga Spanyol menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan Islam di daerah barat. Tetapi kemajuan tersebut ditentukan oleh penguasa yang memiliki sikap kuat dan berwibawa yang mampu mempersatuka Islam.
Setelah mencapai kemajuan dan kesuksesan dalam berbagai bidang dan selama beberapa abad menjadi kiblat ilmu pengetahuan, akhirnya mencapai kemunduaran yang disebabkan oleh berbagai hal. Diantaranya yaitu :
a) Tidak jelasnya sistem peralihan kekuasaan yang menyebabkan munculnya munculnya perebutan kekuasaan diantara ahli waris
b) Lemahnya figur dan kharismatik yang dimiliki khalifah khususnya sesudah khalifah Al Hakam II. Khalifah hanyalah sebagai simbol saja, sedang pelaksanaan pemerintahannya dijalankan oleh Wazir
c) Perselisihan diantara umat Islam itu sendiri yang disebabkan perbedaan kepentingan atau karena perbedaan suku dan kelompok yang merupakan peluang bagi pihak kristen untuk memecah belah Islam
d) Konflik umat Islam dan kristen, kebijakan para penguasa Muslim yang tidak melakukan Islamisasi secara sempurna dan hanya diwajibkan membayar upeti pada penguasa Islam di Spanyol
e) Munculnya Muluk At Tawaif ( kerajaan-kerajaan kecil ) yang masing-masing saling berebut kekuasaan.
Hal ini diperburuk dengan serangan pihak kristen yang sudah menyatu dan letak Spanyol yang terpencil dari daerah Islam lainnya sehingga Spanyol harus berjuang sendri tanpa adanya bantuan.
Dengan runtuhnya kekuaan Islam di Bagdad dan di Cordova maka mulailah kemunduran pendidikan dan kebudayaan Islam. Dan kehancuran total yang dihadapi kota-kota pendidikan dan kebudayaan Islam yang mengakibatkan runtuhnya sendi-sendi pendidikan Islam dan melemahnya pemikiran yang disebabkan antara lain :
a) Telah berlebihnya filsafat Islam ( yang bersifat Sufistik )
Kehidupan sufi berkembang dengan cepat. Keadaan umat yang frustasi menyebabkan kembali pada Tuhan dalam arti bersatu dengan tuhan, sebagaimana duiajarkan oleh para sufi. Di setiap Madrasah diajarkan tentang ajaran-ajaran sufisme, sehingga di dalam Madrasah hanya ada ilmu-ilmu agama sedangkan ilmu-ilmu lainnya tidak termasuk dalam pengajaran.
b) Sedikitnya kurikulum Islam
Pada Madrasah-madrasah, pengajaran umumnya terbatas pada ilmu-ilmu keagamaan, seperti ilmu-ilmu yang murni yaitu : Tafsir, Hadis, Fikih dan Ushul Fikih, Ilmu Kalam, dan Teologi Islam sudah mulai tertinggal karena penyempitan kurikulum pada masa itu. Pada beberapa Madrasah tertentu, Ilmu Klam dicurigai, yang lebih di fokuskan kepada ilmu yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Dan juga materi yang ada banyak sedangkan waktu yang diberikan untuk mempelajarinya hanya sedikit sehingga para pelajar tidak terlalu memahami suatu ilmu.
c) Tertutupnya pintu ijtihad
Dengan dikuranginya kebebsan berpendapat dan memikirkan sesuatu dengan akal, maka banyak para ahli tersebut hanya mengutip ijtihad para ahli sebelumnya tanpa menemukan pemecahan terbaru tentang hal-hal permasalahan yang sedang berkembang dari hasil pemikiran mereka. Sehingga timbul pernyataan yang mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup.
Melihat hal-hal tersebut, maka jelaslah Islam mengalami masa kemunduran terutama dalam bidang pendidikan.
Kemunduran pendidikan Islam terletak pada merosotnya mutu pendidikan dan pengajaran di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Materi pelajarannya seperti dijelaskan Zuhairini yang dikutip oleh Syamsul Nizar, sangat sederhana. Materi yang diajarkan hanyalah materi-materi dan ilmu-ilmu keagamaan. Lembaga-lembaga pendidikan tidak lagi mengajarkan ilmu-ilmu filosofis, termasuk ilmu pengetahuan. Rasionalismepun kehilangan peranannya, dalam arti semakin dijauhi. Kedudukan akal semakin surut. Dengan dicurigainya pemikiran rasional, daya penalaran umat Islam mengalami kebekuan sehingga pemikiran kritis, penelitian dan ijtihad tidak lagi dikembangkan.
Akibatnya, tidak ada lagi ulama-ulama yang menghasilkan karya-karya intelektualisme yang mengagumkan. Mereka lebih senang mengikuti pemikiran-pemikiran ulama terdahulu daripada berusaha melakukan temuan-temuan baru. Keterpesonaan terhadap buah fikiran masa lampau membuat umat Islam merasa cukup dengan pa yang sudah ada. Mereka tidak mau berusaha lebih keras lagi untuk memunculkan gagasan keagamaan yang cemerlang. Usaha yang mereka tempuh hanyalah sebatas pemberian syarah atau ta’liqah pada kritik-kritik ulama terdahulu yang bertujuan memudahkan pembaca untuk memahami kitab-kitab rujukan dengan menjelaskan kalimat-kalimatnya secara semantik atau menambah penjelasan dengan mengutip ucapan-ucapan para ulama lain.
Diantara sebab-sebab kemacetan pemikiran dan kemunduran umat Islam adalah lenyapnya metode berfikir rasional, yang pernah dikembangkan oleh mu’tazilah. Pemikiran rasional mu’tazilah yang telah menimbulkan peristiwa ” mihnah ”, telah mengundang antipati umat Islam bukan saja terhadap aliran mu’tazilah tetapi juga terhadap metode berfikir rasional. Sejak saat itu, masyarakat tidak mau mendalami ilmu-ilmu sains dan filosofis. Pemikiran logis dan ilmiah tidak lagi menjadi budaya fikir masyarakat Muslim sampai akhirnya pola berfikir mereka didominasi oleh supertisi, tahayul dan kejumudan.
Antipati terhadap mu’tazilah menyebabkan pengawasan yang ketat terhadap kurikulum. Jatuhnya paham mu’tazilah mengangkat posisi kaum konservatif menjadi kuat. Untuk mengembalikan paham Ahlussunnah sekaligus memperkokohkannya, ulama-ulama melakukan kontrol terhadap kurikulum di lembaga-lembaga pendikan. Karena ulama dianggap sebagai kaum terpelajar dan memiliki otoritas keagamaan dan masalah hukum Islam. Ulama-ulama ini menganut paham konservatif dan fundamental bahwa wahyu merupakan inti segala macam pengetahuan. Oleh karena itu mereka hanya mengedepankan ilmu-ilmu keagamaan di lembaga pendidikan Islam.
Ketauhidan yang diajarkan Muhammad SAW telah diselubungi khurafat dan paham kesufian. Mesjid-mesjid ditinggalkan khurafat oleh golongan besar dan awam. Mereka menghias diri dengan azimat penangkal penyakit dan tasbih. Mereka belajar pada fakir dan darwis serta menziarahi kuburan orang-orang keramat.mereka memuja orang-orang itu sebagai orang suci dan perantara dengan Allah, karena menganggap Dia begitu jauh bagi manusia biasa untuk pengabdian langsung.
Sebagaimana yang dikatakan oleh M. Natsir yang dikutip oleh Chadijah Ismail, kemurnian tauhid terancam, guru-guru, pemimpin-pemimpin kerohanian dikultus, dijadikan perantara menziarahi kuburan dan barang-barang peninggalan orang tua-tua dikeramatkan. Dengan rusaknya kemurnian tauhid, hubungan antara hamba dengan Tuhannya menjadi kabur, hubungan hamba dengan sesama manusia dan alam sekitarnya jadi tidak karuan. Amal Ibadah yang tadinya murni, kemasukan berbagai macam bid’ah dan khurafat. Esencial demokrasi dalam tata negara digantikan oleh feodalisme dalam bermacam-macam bentuk dan intensitasnya. Ruh ijtihad, kemerdekaan berfikir, semangat untuk menjajah, mencari kebenaran merosot, yang tumbuh malah jiwa serba turut ( taqlid ). Daya cipta lumpuh, yang timbul adalah daya imitasi dan kesenian berakomodasi dengan situasi kondisi.
Umat Islam banyak terpecah-pecah dalam kelompok-kelompok politik, aliran-aliran ilmu kalam dan filsafat Islam, golongan dan mazhab hukum fikih, jamaah-jamaah sufi dan tarikat. Ditambah dengan banyaknya hadits-hadits palsu dibuat orang dan tidak diperiksa dengan teliti sanad dan rawinya. Israiliyat dan nasraniyat dalam penafsiran sangat merusak citra Al Qur’an. Pintu ijtihad tertutup rapat.
Universitas Al Azhar yang didirikan abad X M jauh ditinggalkan oleh universitas Paris, Oxford dan Cambrige yang baru berdiri abad XIII M. universitas Islam Deobamd di India dan universitas Zaitunah di Tunisia tadak lagi dapat disebut universitas-universitas yang diharapkan oleh Al Qur’an.
Mata pelajaran seperti : Astronomi, fĂ­sica, nimia, kedokteran, biologi, sosiologi, ekonomi, politik sudah ditinggalkan karena dianggap bukan pelajaran agama, tapi itu ilmu umum. Padahal Al Qur’an tidak pernah membedakan bahwa kelompok pertama adalah ilmu agama dan kelompok kedua adalah ilmu umum.
Disamping itu, di zaman kemunduran banyak berkembang ajaran-ajaran tarekat yang tidak ada sandarannya Al Qur’an dan Hadits yang dapat dipegangi. Jabarti yang dikutip oleh Chadijah Ismail mengatakan : “ Orang Islam yang dulu pernah pertama kali mendirikan rumah sakit dan telah maju dalam bidang kedokteran, yang telah memberikan inspirasi bagi pendirian rumah sakit di seluruh Eropa, Semarang jatuh ke dalam keadaan yang menyangka percobaan nimia Francis semacam sihir.
Di dalam bidang fikih, yang terjadi adalah berkembangnya taqlid buta dikalangan umat. Dengan sikap hidup fatalistas tersebut, kehidupan mereka Sangay status, tidak ada problem-problem baru dalam bidang fikih. Apa yang sudah ada dalam kitab-kitab fikih lama dianggap sesuatu yang sudah baku, mantap dan benar, dan harus diikuti serta dilaksanakan sebagaimana adanya.
Kehidupan sufi berkembang dengan pesat. Madrasah-madrasah yang ada dan yang berkembang diwarnai dengan kegiatan sufi. Madrasah-madrasah berkembang menjadi zawiat-zawiat untuk mengadakan riyadah dibawah bimbingan an otoritas guru-guru sufi, yang selanjutya dikembangkan untuk menuntun para murid, yang dikenal berikutnya dengan istilah tarekat.
Keadaan yang demikian, sebagaimana yang dilukiskan oleh Fazlur Rahman yang dikutip oleh Syamsul Nizar : ” Di madrasah-madrasah yang bergabung dalam halaqah-halaqah dan zawiat-zawiat sufi, karya-karya sufi dimasukkan kedalam kurikulum formal, kurikulum akademis yang terdiri dari hampir seluruh buku-buku tentang sufi”.
Seseorang yang frustasi dan fatalis, tidak lagi percaya kepada kemampuannya untuk maju atau mengatasi problem kagamaan dan kemasyarakatan. Mereka lari dari kenyataan dan hanya mendekatkna diri kepada Tuhan. Untuk itu mereka masuk ke tarekat-tarekat sehingga tarekat sangat berpengaruh dalam hidup umat Islam.
Perhatian pada ilmu pengetahuan kurang sekali. Kurangnya perhatian penguasa terhadap kehidupan intelektualisme, menambah umat Islam semakin tidak bergairah untuk melahirkan karya-karya intelektual sehingga ilmu pengetahuan Islam mengalami stagnasi.












BAB III
KESIMPULAN
a) Nama lengkap ibnu khaldun adalah Abu Zayd 'Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Khaldun al-Hadrami.
b) Ibnu Khaldun lahir dan dibesarkan di tengah-tengah keluarga ilmuwan yang terhormat. Ayahnya Abu ‘Abdullah Muhammad adalah gurunya yang pertama. Darinya ia belajar membaca, menulis dan bahas Arab. Di antara guru-gurunya yang lain adalah Abu ‘Abdullah Muhammad ibnu Sa’ad bin Burral al-Ansari, darinya ia belajar al-Qur’an dan al-Qira’at al-Hasayiri, Muhammad al-Syawwasy al-Zarzali, Ahmad ibnu al-Qassar dari mereka Ibnu Khaldun belajar bahasa Arab.
c) Setelah mencapai kemajuan dan kesuksesan dalam berbagai bidang dan selama beberapa abad menjadi kiblat ilmu pengetahuan, akhirnya mencapai kemunduaran yang disebabkan oleh berbagai hal. Diantaranya yaitu :
 Tidak jelasnya sistem peralihan kekuasaan yang menyebabkan munculnya munculnya perebutan kekuasaan diantara ahli waris
 Lemahnya figur dan kharismatik yang dimiliki khalifah khususnya sesudah khalifah Al Hakam II. Khalifah hanyalah sebagai simbol saja, sedang pelaksanaan pemerintahannya dijalankan oleh Wazir
 Perselisihan diantara umat Islam itu sendiri yang disebabkan perbedaan kepentingan atau karena perbedaan suku dan kelompok yang merupakan peluang bagi pihak kristen untuk memecah belah Islam
 Konflik umat Islam dan kristen, kebijakan para penguasa Muslim yang tidak melakukan Islamisasi secara sempurna dan hanya diwajibkan membayar upeti pada penguasa Islam di Spanyol
 Munculnya Muluk At Tawaif ( kerajaan-kerajaan kecil ) yang masing-masing saling berebut kekuasaan.
d) Yang mengakibatkan runtuhnya sendi-sendi pendidikan Islam dan melemahnya pemikiran yang disebabkan antara lain :
 Telah berlebihnya filsafat Islam ( yang bersifat Sufistik )
 Sedikitnya kurikulum Islam
 Tertutupnya pintu ijtihad

DAFTAR PUSTAKA
Chadijah Ismail, Sejarah Pendidikan Islam,( Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999)
Enam Muhamad Abdullah, Ibnu Khaldun: His Life and Work, New Delhi: Kitab Bhavan, 1979
Hanum Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, ( Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999)
http://zaldym.wordpress.com/2008/10/23/ibnu-khaldun-bapak-sosiologi-islam/
Ibn Khaldun, MuqaddimahIbnu Khaldun(terjnah: Ahmad Toha), Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986
Issawi, Cgarles, Filsafat Islam Tentang Sejarah, Pilihan dari Muqaddimah Ibn Khaldun Alih Bahasa A. Mukti Ali, (Jakarta: Tinta Mas,1962)
Syamsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakata : Kencana Prenada Media Group, 2007)
Sulaiman Fathiyah Hasan, Pandangan Ibnu Khaldun Tentang Ilmu dan Pendidikan, Bandung: Diponegoro, 1987
Wafi Ali Abdul Wahid, Ibnu Khaldun Riwayat dan Karyanya, terj. Terj: Ahmad Toha, (Jakarta: Grafiti Perss,1989)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar