Selasa, 12 April 2011

KEPEMIMPINAN TRANFORMASIONAL DALAM MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM DI MADRASAH ALIYAH KEAGAMAAN AL-MANAR SEMARANG 2011

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kepemimpinan merupakan proses dimana seorang individu mempengaruhi sekelompok individu untuk mencapai tujuan. (Pidarto Made, 2007: 34) untuk menjadi seorang pemimpin yang evektif, seorang kepala sekolah harus dapat mempengaruhi seluruh warga sekolah yang dipimpinnya melalui cara-cara yang positif untuk mencapai tujuan pendidikan disekolah. (http://www.agung.h.harsiwi.go.id)
Dalam pengertian umum, kepemimpinan menunjukkan proses kegiatan seseorang dalam memimpin, membimbing, mempengaruhi atau mengendalikan pikiran, perasaan atau mempengaruhi atau mengendalikan pikiran, perasaan orang lain. Faktor penting dalam kepemimpinan yakni dalam mempengaruhi atau mengendalikan pikiran, perasaan atau tingkah laku orang lain adalah tujuan dan tencana dan dilakukan dengan sengaja, sering jaga kepemimpinan berlangsung secara sepontan. (Dirawat, dkk. 1989: 60)
Dalam kepemimpinan terdapat macam-macam gaya kepemimpinan dengan masing-masing kekerangan dan kelebihannya. Berikut beberapa gaya kepemimpinan yang kerap kali kita liat atau alami saat ini: (1) Kepemimpinan Kediktatoran:Gaya kepemimpinan ini cenderung mempertahankan diri atas kekuasaan dan kewenangan dalam pembuatan keputusan. (2) Kepemimpinan Demokrasi Relatif: Gaya kepemimpinan ini lebih lanjutdari gaya kediktatoran dan kepemimpinan ini berusaha memastikan bahwa kelompoknya mendapatkan infornasi memadai dan berpartisipasi dalam tujuan team. (3) Kepemimpinan Kemitraan: Gaya ini menguburkan batas antara pimpinan dan dan para anggotanyasengan sesuatu kesejajaran dan berbagai tanggung jawab. (4) Kepemimpinan Trenformational: Gaya yang mampu mendatangkan perubahandidalam diri setiap individu yang terlibat dan berbagai organisasi untuk mencapai kinerja yang semakin tinggi. (http://www.mulkisinwijaya.com)
Perkembangan manajemen dan kepemimpinan dalam suatu organisasi apapun merupakan hal yang penting dan perlu mendapatkan perhatian tanpa adanya suatu manajemen dan kepemimpinan yang baik dan aspiratif, maka perubahan dan optimalisasi penerapan kinerja dan tujuan organisasi akan sulit dicapai dan mungkin tidak akan mendapatkan hasil apapun. (Ahmad Sanusi. 2009: 80)
Ada dua prinsip yang harus diarahkan pada setiap pembuat perubahan, yang pertama adalah prinsip moralitas yang kedua adalah prinsip efisiensi. Hubungan efisiensi dan moralitas yang saling mempengaruhi pada berbagai institusi, terutama tentang institusi pendidikan yang kita sebut dengan sekolah, terus menggugah rasa ingin tahu, dipermukaan, moralitas maupun efisiensi sangat baik moralitas menunjukkan kejujuran, kebaikan dan perilaku yang baik, dll. Dan efisiensi memperlihatkan prestasi dan produksi maksimum dengan pengeluaran usaha, uang dan waktu minimum. Idealnya sekolah, pemerintahan, tempat kerja dan bahkan keluarga kita bermoral dan memiliki efisiensi dengan caranya sendiri. (Kay A.Norlander-Case. 2009: 7)
Pembahasan tentang pemimpin telah menunjukkan pada suatu fenomena kemampuan seseorang dalam menggerakkan, membimbing, dan mengarahkan orang lain dalam suatu kerja sama. (Hendiyat Soetopo. 1980: 3) Fungsi utama kepala sekolah sebagai pemimpin pendidik ialah menciptakan situasi belajar mengajar sehingga guru-guru dapat mengajar dan murid-murid dapat belajar dengan baik. Dalam melaksanakan fungsi tersebut, kepala sekolah memiliki tanggung jawab ganda yaitu melaksanakan administrasi sekolah sehingga tercipta kegiatan belajar mengajar dengan baik dan melaksanakan supervisi sehingga guru-guru bertambah dalam menjalankan tugas-tugas pengajar dan dalam membimbing pertumbuhan murid. (Hendiyat Soetopo. 1980: 15)
Sebagai pemimpin pendidik, kepala madrasah/ sekolah menghadapi tanggung jawab yang berat, untuk itu ia harus memiliki persiapan memadahi, banyak tanggung jawab sehingga ia dapat memusatkan perhatiannya pada pembinaan program pengajaran. (Hendiyat Soetopo. 1980: 19) Pemimpin pada hakikatnya adalah seseorang yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang lain didalam kerjanya dengan menggunakan kekuasaan. Kekuasaan yang dimaksud disini adalah kemampuan untuk mengarahkan dan mempengaruhi bawahan sehubung dengan tugas-tugas yang harus dilaksanakan. (Nanang Fattah. 1996: 88)
Untuk meningkatkan kemampuan dan pengalaman, pemimpin pendidik hendaknya memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang menjamin kemampuannya mengelola madrasah/ sekolah sehingga tercipta kegiatan belajar mengajar dengan baik. Ia hendak mempelajari organisasi manajemen dan administrasi madrasah/ sekolah. Pendidikan dan pengalaman yang dimiliki oleh kepala madrasah/ sekolah merupakan faktor yang mempengaruhi kepemimpinannya dan tidak semua kepala sekolah mengerti maksud kepemimpinan, kualitas, serta fungsi-fungsi yang harus dijalankan oleh pemimpin pendidik. (Hendiyat Soetopo. 1980: 23-25)
Seorang manajer definitif memiliki bawahan dan secara posisional otoritas mereka menerima power jabatan yang diberikan secara formal. Seorang pemimpin tidak memiliki bawahan tetapi memiliki para pengikut (Followers) yang bisa mengikuti pemimpin diatas kesadaran masing-masing. Seorang pemimpin kerap mendapatkan powernya secara tidak formal, antara lain berasal dari karisma personalisasi diri, yang membuat para pengikut merasa terinspirasi untuk mengikuti dan mewujudkannya sebagai pemimpin. Gaya manajemen yang biasanya terjadi adalah tranformational yang mengarah pada perubahan dinamis, tantangan, visioner, perasaan-hati, nilai, motivasi serat inovasi. (http://www.mulkisinwijaya.com)
Manajemen dan kepemimpinan yang demikian diperlukan dalam mendorong organisasi untuk terus belajar tanggal terhadap perubahan dan perkembangan yang terjadi, serta semakin berusaha dalam meningkatkan performa organisasinya. Dalam bidang pendidikan dan persekolahan. Kepemimpinan perlu diformasikan kembali agar tujuan pendidikan dan pembelajaran dapat dicapai secara optimal agar berdampak signitifikasi terhadap hasil tujuan. (Baharuddin. 2010: 216)
Segala kegiatan yang diarahkan dalam rangka mengembangkan potensi anak menuju kesempurnaannya secara terencana, terarah, terpadu dan kesinambungan adalah hakekat pendidikan. Untuk mencapai sasaran dan fungsi dimaksud maka sistem persekolahan dan lembaga pendidikan menjadi salah satu wahana strategis dalam membina sumber daya manusia yang berkualitas. (Jamal Ma’mur Asmani. 2010: 227)
Pendidikan dalam Islam sudah mestinya dikelola dan dimanage dengan sebaik-baiknya. Dimana Manajemen Pendidikan Islam merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualitas umat dari keterbelakangan baik secara moral, materi, sepiritual. Sehingga dalam Islam manajemen adalah hal yang penting guna untuk menciptakan tujuan yang diharapkan.
Dalam kenyataan, berbagai tuntutan terhadap kinerja kepala madrasah/ sekolah masih belum dapat dipenuhi seperti masih banyaknya madrasah/ sekolah yang siswanya prestasinya masih rendah, ketidak disiplinan siswa dan guru, kurangnya kemampuan guru terhadap bidang keilmuwan, penguasaan sebagai guru, dan lamban staf pengajar dan tata usaha dalam melayani kebutuhan siswa. (Amitambun. NA. 1974: 23)
Kita dapat mengubah pembelajaran dan pengajaran jika ada sebuah praktek kepemimpinan dan pengaturan. Praktek dan pengaturan itu perlu sebagaimana fokus mereka dalam mengembangkan kapasitas madrasah/ sekolah. Secara menyeluruh team guru-guru dan guru-guru individual kelas belajar tentang pembelajaran dan bagaimana menopang dan mempercepat pembelajaran pada anak-anak, hal ini memerlukan seorang pemimpin dan pengatur untuk memperkokoh pendirian, dan untuk memimpin dan mengatur proses tersebut, sebuah pemusat pembelajaran dapat terjadi.ini berarti kepala sekolah harus menciptakan waktu dan tempat untuk guru-guru dan mendukung karyawan untuk mencoba mengeluarkan ide-ide baru dan mengajaknya berfikir jauh kedepan. (Departemen P&K RI. 2001: 23)
Masalah ini merupakan cerminan kurangnya kemampuan kepala madrasah/ sekolah dalam memberdayakan perubahan untuk kinerja yang lebih tinggi. Kepala madrasah/ sekolah harusnya mampu mengelola semua sumber daya yang ada secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan pendidikan disekolahnya. Adanya perubahan paradigma pendidikan, diperlukan juga perubahan paradigma kepemimpinan kepala madrasah/ sekolah yang profesional. Pendidikan Islam sudah semestinya dikelola dan dimanage dengan sebaik-baiknya. Dimana pendidikan manajemen Islam merupakan salah satu cara untuk menciptakan kualitas umat dalam keterbelakangan baik secara moral, materi dan sepiritual. Sehingga dalam Islam, manajemen adalah hal yang pentingguna untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Untuk menjawab berbagai masalah, hambatan-hambatan yang dihadapi kepala madrasah/ sekolah dan bagaimana mengatasi masalah tersebut serta solusi yang akan ditempuh, pola kepemimpinan tranformational merupakan salah satu pilihan bagi kepala madrasah/ sekolah untuk memimpin dan mengembangkan kepala madrasah/ sekolah yang berkualitas kepemimpinan tranformational memiliki penekanan dalam hal pernyataan visi misi yang jelas, penggunaan komunikasi secara efektif, pemberian rangsangan intelektual serta perhatian pribadi terhadap permasalahan individu anggota organisasinya. Dengan penekanan hal-hal seperti itu, diharapkan kepala madrasah/ sekolah akan mampu meningkatkan kinerja staf pengajarnya dalam rangka mengembangkan kualitas sekolahnya. Penerapan kepemimpinan tranformational juga diperlukan karena berbagai informasi terkini seyogyanya dapat ditransformasikan kepada guru, tenaga administrasi, siswa dan orang tua melalui sentuhan persuasif, psikologi dan edukatif dari kepala sekolah.
Berdasarkan pernyataan di atas, penyusun tertarik untuk meneliti tentang “Kepemimpinan Tranformational Dalam Manajemen Lembaga Pendidikan Islam Di Madrasah Aliyah Keagamaan Al-Manar Tengaran Semarang Tahun 2011”

B. Perumusan Masalah
Sebagai langkah awal dan arah yang jelas dalam penelitian ini untuk pembahasan selanjutnya, maka perumusan masalah yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Gambaran Kepemimpinan Tranformational Dalam Manajemen Lembaga Pendidikan Islam Di Madrasah Aliyah Keagamaan Al-Manar Tengaran Semarang Tahun 2011?
2. Apakah Hambatan dan Solusi dalam Kepemimpinan Tranformational Dalam Manajemen Lembaga Pendidikan Islam Di Madrasah Aliyah Keagamaan Al-Manar Tengaran Semarang Tahun 2011?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui Gambaran Kepemimpinan Tranformational Dalam Manajemen Lembaga Pendidikan Islam Di Madrasah Aliyah Keagamaan Al-Manar Tengaran Semarang Tahun 2011.
2. Untuk mengetahui Hambatan dan Solusi dalam Kepemimpinan Tranformational Dalam Manajemen Lembaga Pendidikan Islam Di Madrasah Aliyah Keagamaan Al-Manar Tengaran Semarang Tahun 2011


D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Untuk menambah khazanah keilmuwan para pembaca khususnya mengenai Gambaran Kepemimpinan Tranformational Dalam Manajemen Lembaga Pendidikan Islam Di Madrasah Aliyah Keagamaan Al-Manar Tengaran Semarang Tahun 2011
b. Sebagai bahan dan pertimbangan atau acuan bagi para peneliti lebih lanjut terhadap Hambatan dan Solusi dalam Kepemimpinan Tranformational Dalam Manajemen Lembaga Pendidikan Islam Di Madrasah Aliyah Keagamaan Al-Manar Tengaran Semarang Tahun 2011


2. Manfaat Praktis
a. Bagi kepala sekolah, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan tugas sebagai pemimpin tranformational
b. Bagi guru hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan untuk meningkatkan kompetensi guru dan dirasakan bahwa tranformational oleh kepala sekolah sebagai bentuk pembinaan

Sabtu, 02 April 2011

STRATEGI PENDIDIKAN ISLAM
DALAM MENINGKATKAN KUALITAS
SUMBER DAYA MANUSIA MENURUT PEMIKIRAN HASAN LANGGULUNG
(Uswatun Khasanah Al-Aqila)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Realitas Pendidikan Islam saat ini bisa dibilang telah mengalami masa intellectual deadlock. Diantara indikasinya adalah; pertama, minimnya upaya pembaharuan, dan kalau toh ada kalah cepat dengan perubahan sosial, politik dan kemajuan iptek. Kedua, praktek pendidikan Islam sejauh ini masih memelihara warisan yang lama dan tidak banyak melakukan pemikiran kreatif, inovatif dan kritis terhadap isu-isu aktual. Ketiga, model pembelajaran pendidikan Islam terlalu menekankan pada pendekatan intelektualisme-verbalistik dan menegasikan pentingnya interaksi edukatif dan komunikasi humanistik antara guru-murid. Keempat, orientasi pendidikan Islam menitikberatkan pada pembentukan ëabd atau hamba Allah dan tidak seimbang dengan pencapaian karakter manusia muslim sebagai khalifah fi al-ardl.
Padahal, di sisi lain pendidikan Islam mengemban tugas penting, yakni bagaimana mengembangkan kualitas sumber daya manusia (SDM) agar umat Islam dapat berperan aktif dan tetap survive di era globalisasi. Dalam konteks ini Indonesia sering mendapat kritik, karena dianggap masih tertinggal dalam melakukan pengembangan kualitas manusianya. Padahal dari segi kuantitas Indonesia memiliki sumber daya manusia melimpah yang mayoritas beragama Islam.
Mengapa pengembangan kualitas sumber daya manusia menjadi sangat penting dan begitu urgent? Hal ini tak bisa dipungkiri mengingat abad XXI sebagai era globalisasi dikenal dengan situasinya yang penuh dengan persaingan hypercompetitive situation). John Naisbitt dan Patricia Aburdene sebagaimana dikutip A. Malik Fadjar, pernah mengatakan bahwa terobosan paling menggairahkan dari abad XXI bukan karena teknologi, melainkan karena konsep yang luas tentang apa artinya manusia itu. Pengembangan kualitas SDM bukan persoalan yang gampang dan sederhana, karena membutuhkan pemahaman yang mendalam dan luas pada tingkat pembentukan konsep dasar tentang manusia serta perhitungan yang matang dalam penyiapan institusi dan pembiayaan.
Paradigma pembangunan yang berorientasi pada keunggulan komparatif dengan lebih mengandalkan sumber daya alam dan tenaga kerja yang murah, saat ini mulai mengalami pergeseran menuju pembangunan yang lebih menekankan keunggulan kompetitif. Dalam paradigma baru ini, kualitas SDM, penguasaan teknologi tinggi dan peningkatan peran masyarakat memperoleh perhatian.
Keberhasilan pembangunan terutama ditentukan oleh kualitas manusianya, bukan oleh melimpah-ruahnya kekayaan alam. Manusia merupakan titik sentral yang menjadi subyek dan perekayasa pembangunan serta sebagai obyek yang direkayasa dan menikmati hasil-hasil pembangunan. Sumber daya manusia pun (disamping pada kondisi-kondisi tertentu menjadi beban pembangunan) merupakan modal dasar pembangunan nasional yang memiliki potensi dan daya dorong bagi percepatan proses pelaksanaan pembangunan nasional. Dengan demikian, perilaku pembangunan, seyogyanya senantiasa mencerminkan peningkatan harkat dan martabat kemanusiaan demi peningkatan kualitas peradaban masyarakat bangsa dan negara. Di dalamnya diperlukan ketangguhan kualitas, watak dan moralitas manusia sebagai pelaku utamanya.
Upaya pengembangan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat dilakukan melalui berbagai jalur, diantaranya melalui pendidikan. Pendidikan ini merupakan jalur peningkatan kualitas sumber daya manusia yang lebih menekankan pada pembentukan kualitas dasar, misalnya keimanan dan ketakwaan, kepribadian, kecerdasan, kedisiplinan, kreativitas dan sebagainya.
Dalam hal pengembangan SDM, pendidikan memiliki nilai strategis dan mempunyai peran penting sebagai suatu investasi di masa depan. Karena secara teoretis, pendidikan adalah dasar dari pertumbuhan ekonomi, dasar dari perkembangan sains dan teknologi, mengurangi kemiskinan dan ketimpangan dalam pendapatan, dan peningkatan kualitas peradaban manusia pada umumnya. Nilai strategis pendidikan yang makro ini, menyimpulkan bahwa pendidikan menyimpan kekuatan luar biasa untuk menciptakan keseluruhan aspek lingkungan hidup dan dapat memberikan informasi paling berharga mengenai pegangan hidup di masa depan serta membantu anak didik mempersiapkan kebutuhan hidup yang esensial untuk menghadapi perubahan.
Di negara-negara maju, SDM menjadi prioritas utama dalam pembangunan pendidikan, SDM dipandang sebagai pilar utama infrastruktur yang mapan di bidang pendidikan. Kondisi ini berbeda dengan pendidikan di Indonesia yang dihadapkan pada persoalan penyediaan SDM. Adanya ketidakcocokan dan ketidaksepadanan antara output di semua jenjang pendidikan dengan tuntutan masyarakat (social demands) dalam dunia kerja adalah satu contoh pekerjaan rumah bagi dunia pendidikan di Indonesia yang harus segera dibenahi. Pendidikan masih lebih memperlihatkan sebagai suatu beban dibanding sebagai suatu kekuatan dalam pembangunan. Dipandang dari perspektif human capital theory, pendidikan Islam dihadapkan pada persoalan underinvestment in human capital, yaitu kurang dikembangkannya seluruh potensi SDM yang sangat dibutuhkan bagi pembangunan. Akibatnya, pendidikan di Indonesia masih belum menunjukkan tingkat balik (rate of return) yang dapat diukur dari besarnya jumlah lulusan pendidikan yang terserap kedalam dunia kerja.
Hal-hal itulah yang mendorong penulis untuk mengkaji konsep pendidikan Islam Prof. Dr. Hasan Langgulung tentang strategi pendidikan agama Islam dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Kapasitas intelektual Hasan Langgulung dalam bidang pendidikan Islam menjadi alasan penulis untuk mengangkat pemikiran dan gagasan pendidikannya. Ia dikenal sebagai figur yang memiliki integritas tinggi dalam dunia pendidikan, baik berskala nasional maupun internasional. Ini dipertegas dengan statement Azyumardi Azra yang mengatakan bahwa Hasan Langgulung adalah di antara pemikir yang paling menonjol dalam barisan pengkaji pemikiran dan teori kependidikan di Indonesia dewasa ini.
Dari beberapa fenomena dan alasan inilah, penulis beranggapan bahwa masalah yang akan diangkat dalam makalah ini belum ada yang mengkaji, dan oleh karena itu layak untuk diangkat sebagai makalah. Adapun judul makalah yang penulis ajukan ialah Strategi Pendidikan Islam dalam Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia Menurut Pemikiran Hasan Langgulung

B. Rumusan Masalah
Dari pembatasan masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalahnya sebagai berikut: Bagaimana strategi pendidikan Islam yang digagas oleh Hasan Langgulung dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi dan Riwayat Pendidikan Hasan Langgulung
Nama lengkapnya adalah Hasan Langgulung, lahir di Rappang, Sulawesi Selatan pada tanggal 16 Oktober 1934. Ayahnya bernama Langgulung dan ibunya bernama Aminah Tanrasuh.
Hasan Langgulung muda menempuh seluruh pendidikan dasarnya di daerah Sulawesi, Indonesia. Ia memulai pendidikan dasarnya di Sekolah Rakyat (SR) ñ sekarang setingkat Sekolah Dasar (SD) ñ di Rappang, Sulawesi Selatan. Kemudian melanjutkan jenjang pendidikannya di Sekolah Menengah Islam dan Sekolah Guru slam di Makasar sejak tahun 1949 sampai tahun 1952 serta menempuh B.I. Inggris di Ujung Pandang, Makasar.
Perjalanan pendidikan internasionalnya dimulai ketika ia memutuskan hijrah ke Timur Tengah untuk menempuh pendidikan sarjana muda atau Bachelor of Arts (BA) dengan spesialisasi Islamic and Arabic Studies yang beliau peroleh dari Fakultas Dar al-Ulum, Cairo University, Mesir pada tahun 1962. Setahun kemudian ia sukses menggondol gelar Diploma of Education (General) dari Ein Shams University, Kairo. Di Ein Shams University Kairo pula ia mendapatkan gelar M.A. dalam bidang Psikologi dan Kesehatan Mental (Mental Hygiene) pada tahun 1967. Sebelumnya, ia juga sempat memperoleh Diploma dalam bidang Sastra Arab Modern dari Institute of Higher Arab Studies, Arab League, Kairo, yaitu di tahun 1964.
Kecintaan dan kehausan Hasan Langgulung pada ilmu pengetahuan tak membuatnya puas dengan apa yang telah ia peroleh di Timur Tengah. Beliau punmelanjutkan pengembaraan intelektualnya dengan pergi ke Barat. Hasilnya gelarDoctor of Philosophy (Ph.D) dalam bidang Psikologi diperoleh dari University of Georgia, Amerika Serikat di tahun 1971.
Semasa kuliah Hasan Langgulung tak hanya mengasah daya intelektualnya (kognisi) saja, saat itu ia pun sudah menunjukkan talenta sebagai seorang aktivis dan seorang pendidik. Hal ini dapat dibuktikan ketika ia diberi kepercayaan sebagai Ketua Mahasiswa Indonesia di Kairo tahun 1957. Antara tahun 1957 hingga 1967 ia mengemban amanah sebagai Kepala dan Pendidik Sekolah Indonesia di Kairo. Kemampuan organisatorisnya semakin matang ketika ia menjadi Wakil Ketua Mahasiswa Indonesia di Timur Tengah (1966-1967).
Pada tanggal 22 September 1972, Hasan Langgulung melepas masa lajangnya dengan menikahi seorang perempuan bernama Nuraimah Mohammad Yunus. Pasangan ini dikaruniai dua orang putera dan seorang puteri, yaitu Ahmad Taufiq, Nurul Huda, dan Siti Zakiah. Keluarga ini tinggal di sebuah rumah di Jalan B 28 Taman Bukit, Kajang, Malaysia.
a) Sumber Daya Manusia (SDM) yang Berkualitas
Manusia adalah makhluk yang diciptakan Allah paling sempurna dengan struktur jasmaniah dan rohaniah terbaik di antara makhluk lainnya. Muzayyin Arifin mengatakan bahwa dalam struktur jasmaniah dan rohaniah itu Allah memberikan seperangkat kemampuan dasar yang memiliki kecenderungan berkembang yang menurut aliran psikologi behaviorisme disebut pre potence reflex (kemampuan dasar yang secara otomatis berkembang).
Kualitas jasmani dan rohani tersebut oleh Emil Salim, seperti dikutip oleh Anggan Suhandana, disebut sebagai kualitas fisik dan non fisik. Lebih lanjut, wujudkualitas fisik ditampakkan oleh postur tubuh, kekuatan, daya tahan, kesehatan, dan kesegaran jasmani. Dari sudut pandang ilmu pendidikan, kualitas non fisik manusia mencakup ranah (domain) kognitif, afektif, dan psikomotorik. Kualitas ranah kognitif digambarkan oleh tingkat kecerdasan individu, sedangkan kualitas ranah afektif digambarkan oleh kadar keimanan, budi pekerti, integritas kepribadian, serta ciri-ciri kemandirian lainnya. Sementara itu, kualitas ranah psikomotorik dicerminkan oleh tingkat keterampilan, produktivitas, dan kecakapan mendayagunakan peluang berinovasi.
b) Karakteristik Sumber Daya Manusia (SDM) yang Berkualitas
Era globalisasi yang ditandai dengan transparansi di segala bidang kehidupan, telah menuntut SDM berkualitas yang memiliki seperangkat pengetahuan dan keterampilan yang memadai yang diimbangi dengan nilai-nilai tertentu sesuai dengan karakter dunia baru. Yaitu dunia tanpa batas (borderless world) yang berarti komunikasi antar manusia menjadi begitu mudah, begitu cepat, dan begitu intensif sehingga batas-batas ruang menjadi sirna. Adapun nilai-nilai tersebut antara lain; profesionalisme, kompetitif, efektif dan efisien dalam tata kerja, sehingga fungsi pendidikan tidak sekadar sebagai ìagent of knowledgeî akan tetapi harus mampu mengakomodir pengalaman, keterampilan dan nilai-nilai globalisasi dalam satu paket pendidikan. Dengan demikian orientasi pendidikan harus terkait dan sepadan link and matchí dengan kebutuhan masyarakat yang terus berkembang dengan berbagai sektor kebutuhan, terutama dunia industri dan dunia usaha. Sehingga perlu adanya pandangan baru tentang manusia berkualitas dalam pendidikan di abad globalisasi ini.
Untuk itu, maka para pakar khususnya futurolog pendidikan telah menyusun berbagai skenario mengenai karakteristik manusia atau masyarakat abad 21, salah satunya sebagaimana pendapat Robert Reich yang dikutip oleh Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed., mengemukakan bahwa manusia berkualitas yang cerdas itu memiliki ciri-ciri antara lain:
a. Added Values (memiliki nilai tambah, keahlian, profesionalisme)
b. Abstraction System Thinking (mampu berpikir rasional, mengabstraksikan suatu persoalan secara sistematis melalui pendekatan ilmiah objektif)
c. Experimentation and Test (mampu berpikir di balik data-data dengan melihat dari berbagai sudut)
d. Collaboration (mampu bekerja sama, bersinergi).

c) Konsep Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Berkualitas
Konsep sumber daya manusia (human resource) berkembang ketika diketahui dan disadari bahwa manusia itu mengandung berbagai aspek sumber daya bahkan sebagai sumber energi. Manusia tidak hanya berunsur jumlah, seperti terkesan dari pengertian tentang penduduk, tetapi juga mutu, dan mutu ini tidak hanya ditentukan oleh aspek keterampilan atau kekuatan tenaga fisiknya, tetapi juga pendidikannya atau kadar pengetahuannya, pengalaman atau kematangannya, dan sikapnya atau nilai-nilai yang dimilikinya.
Prof. Dr. Soekidjo Notoatmodjo menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pengembangan sumber daya manusia atau human resources development (HRD) secara makro adalah suatu proses peningkatan kualitas atau kemampuan manusia dalam rangka mencapai suatu proses peningkatan kualitas atau kemampuan manusia dalam rangka mencapai suatu tujuan pembangunan bangsa. Dan secara mikro, dalam arti di lingkungan suatu unit kerja (departemen atau lembaga-lembaga yang lain), maka sumber daya yang dimaksud adalah tenaga kerja, pegawai atau karyawan (employee). Maka yang dimaksud dengan pengembangan sumber daya manusia adalah suatu proses perencanaan pendidikan, pelatihan dan pengelolaan tenaga atau karyawan untuk mencapai suatu hasil yang optimal.
Ahmad Sanusi mengemukakan jika abad silam disebut abad kualitas produk/jasa, maka masa yang akan datang merupakan abad kualitas SDM. Sumber daya manusia yang berkualitas dan pengembangan kualitas SDM bukan lagi merupakan isu atau tema-tema retorik, melainkan merupakan taruhan atau andalan serta ujian setiap individu, kelompok, golongan masyarakat, dan bahkan setiap bangsa.

B. STRATEGI AKSI PENDIDIKAN ISLAM DALAM MEMBENTUK SUMBER DAYA MANUSIA YANG BERKUALITAS
Pengembangan sumber daya manusia (SDM) merupakan bagian dari ajaran Islam, yang dari semula telah mengarah manusia untuk berupaya meningkatkan kualitas hidupnya yang dimulai dari pengembangan budaya kecerdasan. Ini berarti bahwa titik tolaknya adalah pendidikan yang akan mempersiapkan manusia itu menjadi makhluk individual yang bertanggung jawab dan makhluk sosial yang mempunyai rasa kebersamaan dalam mewujudkan kehidupan yang damai, tentram, tertib, dan maju, dimana moral kebaikan (kebenaran, keadilan, dan kasih sayang) dapat ditegakkan sehingga kesejahteraan lahir batin dapat merata dinikmati bersama.
Pendidikan tentu saja memiliki tujuan utama (akhir). Dan, tujuan utama atau akhir (ultimate aim) pendidikan dalam Islam menurut Hasan Langgulung adalah pembentukan pribadi khalifah bagi anak didik yang memiliki fitrah, roh dan jasmani, kemauan yang bebas, dan akal. Pembentukan pribadi atau karakter sebagai khalifah tentu menuntut kematangan individu, hal ini berarti untuk memenuhi tujuan utama tersebut maka pengembangan sumber daya manusia adalah suatu keniscayaan.
Oleh karena itu untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan strategi untuk menggapainya. Karena strategi merupakan alternatif dasar yang dipilih dalam upaya meraih tujuan berdasarkan pertimbangan bahwa alternatif terpilih itu diperkirakan paling optimal.
Strategi adalah jantung dari tiap keputusan yang diambil kini dan menyangkut masa depan. Tiap strategi selalu dikaitkan dengan upaya mencapai sesuatu tujuan di masa depan, yang dekat maupun yang jauh. Tanpa tujuan yang ingin diraih, tidak perlu disusun strategi. Selanjutnya, suatu strategi hanya dapat disusun jika terdapat minimal dua pilihan. Tanpa itu, orang cukup menempuh satu-satunya alternatif yang ada dan dapat digali.
Sedangkan Hasan Langgulung dengan definisi yang telah dipersempit berpendapat bahwa strategi memiliki makna sejumlah prinsip dan pikiran yang sepatutnya mengarahkan tindakan sistem-sistem pendidikan di dunia Islam. Menurutnya kata Islam dalam konteks tersebut, memiliki ciri-ciri khas yang tergambar dalam aqidah Islamiyah, maka patutlah strategi pendidikan itu mempunyai corak Islam. Adapun strategi pendidikan yang dipilih oleh Langgulung terdiri dari dua model, yaitu strategi pendidikan yang bersifat makro dan strategi pendidikan yang bersifat mikro.
1. Strategi Pendidikan yang Bersifat Makro
Strategi pendidikan yang bersifat makro biasa dilakukan oleh para pengambil keputusan dan pembuat rencana pendidikan (education planner) atau dalam hal ini adalah pemerintah. Strategi makro ini memiliki cakupan luas dan bersifat umum, artinya bukan dilakukan oleh satu atau segelintir orang saja, namun melibatkan masyarakat secara keseluruhan. Strategi yang diusulkan terdiri dari tiga komponen utama, yaitu tujuan, dasar, dan prioritas dalam tindakan.
Segala gagasan untuk merumuskan tujuan pendidikan di dunia Islam haruslah memperhitungkan bahwa kedatangan Islam adalah permulaan baru bagi manusia. Islam datang untuk memperbaiki keadaan manusia dan menyempurnakan utusan-utusan (anbiya) Tuhan sebelumnya. Tujuannya adalah untuk mencapai kesempurnaan agama. Seperti arti firman Allah swt.: Hari ini Aku sempurnakan agamamu dan Aku lengkapkan nikmatKu padamu dan Aku rela Islam itu sebagai agamamu.(QS. Al-Maidah: 4). Dan firman-Nya yang lain: Kamu adalah umat terbaik yang dikeluarkan untuk umat manusia sebab kamu memerintahkan yang maíruf dan melarang yang mungkar dan beriman kepada Allah.î (QS. Ali Imran: 110).
Berpijak pada dua ayat tersebut, kemudian Hasan Langgulung menyimpulkan bahwa tujuan yang ingin dicapai oleh pendidikan Islamóselain tujuan utama (akhir) pendidikan Islam yang ingin membentuk pribadi khalifahódiringkas dalam dua tujuan pokok; pembentukan insan yang shaleh dan beriman kepada Allah dan agama-Nya, dan pembentukan masyarakat yang shaleh yang mengikuti petunjuk agama Islam dalam segala urusan. Antara lain sebagai berikut:
a) Pembentukan Insan Shaleh
b) Pembentukan masyarakat shaleh
2. Dasar-dasar Pokok
Hasan Langgulung menjabarkan 8 aspek yang termasuk dalam dasar-dasar pokok pendidikan Islam, yaitu:
a) Keutuhan (syumuliyah)
b) Keterpaduan
c) Kesinambungan / Keseimbangan
d) Keaslian
e) Bersifat Ilmiah
f) Bersifat Praktikal
g) Kesetiakawanan
h) Keterbukaan
3. Prioritas Dalam Tindakan
Bertolak dari tujuan dan dasar pokok yang telah diterangkan di atas, maka Hasan Langgulung selanjutnya memaparkan strategi ketiga yaitu memberikan prioritas tindakan yang harus diberikan oleh orang-orang yang bertanggung jawab tentang pendidikan di dunia Islam terutama pemerintah. Prioritas ini tidak mesti sama dan seragam dalam peletakannya, tergantung kebutuhan nama yang lebih mendesak untuk segera dilakukan. Ragam prioritas itu adalah:
a) Menyekolahkan semua anak yang mencapai usia sekolah, dan membuat rancangan agar mereka memperoleh pendidikan dan keterampilan. Menimbang kekurangan material yang dialami oleh sebagian besar negara-negara Islam maka tugas ini menuntut agar kita mengeksploitasi sejauh mungkin semua kerangka pendidikan yang ada dan berusaha mencari kerangka dan sumber-sumber lain di luar sistem pendidikan seperti surau, masjid, pondok pesantren, dan lembaga-lembaga sosial, budaya, dan vokasional. Begitu juga harus dimobilisasi semua tenaga yang sanggup mengajar, baik di dalam atau di luar institusi pendidikan.
b) Mempelbagaikan (penganekaragaman) jalur pengembangan di semua tahap pendidikan dan membimbingnya ke arah yang fleksibel. Keberagaman ini menghendaki perubahan rencana-rencana jangka panjang, pendek dan mengadakan pendidikan umum, pendidikan teknik, vokasional dan pertanian. Sedang fleksibilitas menghendaki adanya jembatan-jembatan penghubung antara berbagai jenis dan tahap pendidikan.
c) Meninjau kembali materi dan metode pendidikan (kurikulum) supaya sesuai dengan semangat Islam dan ajaran-ajarannya, dan bagi berbagai kebutuhan ekonomi, teknik, dan sosial. Tidaklah patut ilmu-ilmu dari Barat itu diambil begitu saja, tetapi yang diambil ialah yang sesuai dengan kebutuhan dunia Islam dan ditundukkan di bawah sistem nilai-nilai Islam.
d) Mengukuhkan pendidikan agama dan akhlak dalam seluruh tahap dan bentuk pendidikan supaya generasi baru dapat menghayati nilai-nilai Islam sejak kecil.Administrasi dan Perencanaan. Pada tahap administrasi patutlah dimudahkan hubungan yang fleksibel pada administrasi, pembentukan teknisi-teknisi yang mampu, dan mempraktekkan sistem desentralisasi. Pada tahap perencanaan, sudah sepatutnya perencanaan itu serasi dengan sektor lainnya, tahap pendidikan dari satu segi, dan dari segi lain juga meliputi keterpaduan antara pendidikan dengan sektor-sektor lain seperti ekonomi dan budaya.
e) Kerja sama adalah salah satu dari aspek utama yang harus mendapat perhatian besar di kalangan penanggung jawab pendidikan, sebab ia mengukuhkan kesetiakawanan dan keterpaduan di antara negara-negara Islam. Kerja sama ini bisa dilaksanakan dengan pertukaran pengalaman, pelajar, tenaga pengajar, dan membuka institusi perguruan tinggi dan universitas-universitas bagi
Sebagai bahan komparasi terhadap strategi pendidikan Islam yang bersifat makro yang digagas oleh Hasan Langgulung di atas. Penulis mengutip pula beberapa alternatif strategi dan upaya menciptakan manusia bersumber daya unggul yang dicetuskan oleh Prof. Dr. Engking Soewarman Hasan, dosen Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung:
1. Strategi pemberdayaan masyarakat
a) Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masayarakat yang berkembang.
b) Memperkuat potensi atau pemberdayaan masyarakat
c) Memberdayakan mengandung arti pula melindungi, artinya dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah.
2. Strategi keterpaduan penyelenggaraan pendidikan.
Sistem pendidikan nasional secara terbuka memberi peluang pada setiap warga negara untuk mengikuti pendidikan tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, agama, suku, ras, kedudukan sosial, dan tingkat kemampuan ekonomi dengan tetap mengindahkan kekhususan satuan pendidikan yang bersangkutan. Permasalahan yang masih dirasakan di dalam melaksanakan kebijaksanaan pendidikan nasional adalah:
a) Pemerataan kesempatan, yang mengandung tiga arti: persamaan kesempatan (equality of opportunity), aksebilitas, dan keadilan atau kewajaran (equality).
b) Relevansi pendidikan, mengandung makna pendidikan harus menyentuh kebutuhan yang cakupannya sangat luas.
c) Kualitas (mutu) pendidikan yang mengacu pada proses dan kualitas produk.
d) Efisiensi pendidikan, artinya upaya pendidikan menjadi efisiensi jika hasil yang dicapai maksimal dengan biaya yang wajar.
BAB III
KESIMPULAN
Dari gambaran pemikiran Hasan Langgulung tentang strategi pendidikan Islam dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia di awal, maka dapat disederhanakan dalam uraian kesimpulan di bawah ini:
1) Strategi pendidikan yang dipilih oleh Hasan Langgulung untuk meningkatkan kualitas SDM terdiri dari dua model, yaitu strategi pendidikan yang bersifat makro dan strategi pendidikan yang bersifat mikro. Strategi yang bersifat makro terdiri dari tiga komponen utama, yaitu pertama, tujuan pendidikan Islam yang mencakup pembentukan insan shaleh dan masyarakat shaleh. Kedua, dasar-dasar pokok pendidikan Islam yang menjadi landasan kurikulum terdiri dari 8 aspek; keutuhan, keterpaduan, kesinambungan, keaslian, bersifat ilmiah, bersifat praktikal, kesetiakawanan, dan keterbukaan. Ketiga, prioritas dalam tindakan yang meliputi penyerapan semua anak-anak yang mencapai usia sekolah, kepelbagaian jalur perkembangan, meninjau kembali materi danmetode pendidikan, pengukuhan pendidikan agama, administrasi dan perencanaan, dan kerja sama regional dan antar negara di dalam dunia Islam. Sedangkan strategi yang bersifat mikro hanya terdiri dari satu komponen saja, yaitu tazkiyah al-nafs (pembersihan jiwa). Tazkiyah itu bertujuan membentuk tingkah laku baru yang dapat menyimbangkan roh, akal, dan badan seseorang sekaligus. Diantara metode tazkiyah tersebut ialah: shalat, puasa, zakat, haji, membaca al-Qurían, zikir, tafakur, zikrul maut, muraqabah, muhasabah, mujahadah, muatabah, jihad, amar maíruf nahi munkar, khidmat, tawadhu, menghalangi pintu masuk setan ke dalam jiwa, dan menghindari penyakit hati. Selain itu, Hasan Langgulung juga memaparkan wacana reorientasi pendidikan Islam yang berkaitan erat dengan pengembangan SDM yang terdiri dari membangun motivasi/etos kerja, membangun disiplin kerja, dan internalisasi nilai-nilai.
2) Manusia merupakan makhluk yang memiliki kemampuan istimewa di antara makhluk lainnya. Kemampuan demikian dimaksudkan agar manusia menjadi individu yang dapat mengembangkan seluruh potensi sumber daya yang dimilikinya. Secara umum potensi manusia diklasifikasikan kepada potensi jasmani dan potensi rohani. Hasan Langgulung melihat potensi yang ada pada manusia tersebut sangat penting sebagai karunia yang diberikan Allah untuk menjalankan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi, inilah tujuan utama atau akhir (ultimate aim) pendidikan Islam.
3) Potensi-potensi yang diberikan kepada manusia pada dasarnya merupakan petunjuk (hidayah) Allah yang diperuntukkan bagi manusia supaya ia dapat melakukan sikap hidup yang serasi dengan hakekat penciptaannya. Pengembangan SDM berdasarkan konsep Islam, ialah membentuk manusia yang berakhlak mulia, senantiasa menyembah Allah yang menebarkan rahmat bagi alam semesta dan bertaqwa kepada Allah. Inilah yang menjadi arah tujuan pengembangan SDM menurut konsep Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Adnanputra, Ahmad S.,Strategi Pengembangan SDM Menurut Konsep Islamî, dalam Majalah Triwulan Mimbar Ilmiah, Universitas Islam Djakarta, Tahun IV No. 13, Januari 1994
Arifin, Muzayyin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1993
Arifin, Zainal, Nuansa Teosentris Humanistik Pendidikan Islam; Signifikansi Pemikiran Hasan Langgulung dalam Konstalasi Reformasi Pendidikan Islam, STAIN Cirebon: Lektur-Jurnal Ilmiah Pendidikan Islam, Seri VIII/Th. Ke-5/98
Assegaf, Abd. Rachman, Membangun Format Pendidikan Islam di Era Globalisasiî, dalam Imam Machali dan Musthofa (Ed.), Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2004, Cet. I
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000, Cet. II
Daradjat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996, Cet. III
-------, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, Jakarta: Ruhama, 1995, Cet. II
Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Al Husna Baru, 2003, Cet. V
-------, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, Bandung: Al-Maíarif, 1995
-------, Kreativitas dan Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1991, Cet. 1
-------, Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1995, Cet. III
-------, Pendidikan dan Peradaban Islam, Jakarta: Pustaka Al Husna, 1985, Cet. III
-------, Pendidikan Islam dalam Abad ke 21, Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru, 2003, Cet. III, Edisi Revisi
ISU-ISU TERKINI GURU DALAM PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI
(Uswatun Khasanah Al-Aqila)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kini teknnologi informasi dan komunikasi (TIK) sudah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat Indonesia. Walaupun pada umumnya berada pada tataran konsumen atau pemakai, namun keadaannya masih kalah jauh dari negara-negara tetangga, tetapi Indonesia tidak luput dari pengaruh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Beberapa jenjang sekolah, khususnya pada tingkat sekolah menengah atas (SLTA) dan sekolah menengah pertama (SLTP) dan sederajat, termasuk juga sebagian kecil sekolah dasar, kini para siswa telah diberi sebuah mata pelajaran yang berhubugan dengan teknologi informasi dan komunikasi, sehingga diharapkan para siswa setidaknya sudah tidak asing dalam penggunaan teknologi informasi dan komunikasi, dan kalah pentingnya adalah guru dalam pemanfaatan TIK dalam proses pembelajaran dan kegiatan lain.
Kini beberapa sekolah telah menerapkan pengajaran dan pembelajaran yang menggunakan rangkaian elektronik (LAN, Internet dan lainnya) untuk menyampaikan isi materi yang diajarkan. Komputer, internet, intranet, satelit, tape/video, TV interaktif dan CD ROM adalah bagian media elektronik yang dimaksudkan dalam kategori ini. Komponen yang tak kalah penting dalam pemanfaatan TIK dalam proses pembelajaran adalah para guru yang mengajar pada sekolah dalam berbagai jenjang.
Guru yang merupakan salah satu bagian terpenting dalam proses pembelajaran di sekolah sebenarnya memerlukan berbagai piranti dalam mengoptimalkan pemanfaatan TIK dan Komunikasi in untuk mendukung kemampunnya yang diperlukan khususnya dalam operasional perangkat TIK tersebut. Berbagai hasil penelitian menunjukkan kini masih banyak guru yang masih gagap dalam pemakian komputer dalam mengakses informasi dan pemanfaatannya dalam proses pembelajaran.
Perkembangan TIK dewasa ini ibarat embun dipagi hari, sering dalam tidur lelap kita tidak menyadari bahwa keesokan paginya telah ditemukan penemuan baru yang sangat penting bagi sejarah manusia. Lagi-lagi kita hanya mengiyakan penemuan itu tanpa harus berupaya menguasainya, lebih parah jika hanya cukup dengan keadaan yang ada tanpa adanya usaha apapun dalam merespon perkem-bangan ini.
Keharusan guru dalam mendorong dan mendukung siswa kearah kreatif pemanfaatan TIK mutlak dilaksanakan. Untuk itu peranan guru sangat dibutuhkan demi keseimbangan penguasaan dan pengemasan informasi yang bakal dihadapkan dan disajikan kepada siswanya. Karena ada kemungkinanan siswa telah memahami lebih jauh satu persoalan dari pada gurunya. Berangkat dari hal tersebut nampaknya kita harus ingat sebuah pesan Nabi Muhammad SAW ”ajarilah anak-anakmu sesuai dengan jamanya dan bukan jaman mu”.
Kondisi guru yang sebagaian besar masih belum optimal, bahkan masih banyak yang belum dapat memanfaatkan kemajuan TIK atau dengan perkataan lain masih gagap, kondisi ini perlu dicari penyebabnya dan solusi yang terbaik, khususnya bagi para penentu kebijakan pendidikan. Tulisan ini akan menggali dari berbagai artikel, hasil penelitian, pengakuan, berita, makalah, pandangan dan berbagai ide yang diambil dan diolah atau dianalisa yang bersunber dari informasi yang diambil dari internet. Data sekunder atau berbagai data dan informasi dari internet tersebut hasil tulisan dari berbagai website dari berbagai kota diseluruh Indonesia, dan jumlah sampel kurang lebih 40 (empat puluh) tulisan.
Hasil analisa dalam tulisan ini diharapkan dapat mendapat gambaran yang jelas sehingga diperoleh pemahaman yang benar mengenai kondisi guru kaitannya dalam pemamfaatan TIK dalam proses pembelajaran dan juga dalam kegiatan lain yang meliputi:
1. Sarana-prasarana, fasilitas, dan perangkat;
2. Kebijakan pimpinan sekolah dan pimpinan lembaga terkait;
3. Kemampuan dan kecakapan dalam pemanfaatan TIK;
4. Pendidikan dan pelatihan, kursus yang telah dimiliki guru; dan
5. Berbagai kendala yang dialami para guru dalam pemanfaatan TIK.
Para penentu kebijakan pendidikan seharusnya sangat berkepentingan atas berbagai informasi tentang kondisi guru dalam pemanfaatan TIK dalam proses pembelajaran dan kegiatan lain, mengingat otoritas yang dimiliknya dapat mengubah kondisi yang baik menjadi kondisi yang lebih baik. Sementara guru dengan informasi ini dapat menempatkan dan mengkondisikan dirinya sesegera mungkin untuk beradaptasi, paling tidak mengubah sikap dan perilaku untuk berkembang ke arah yang lebih baik.
B. Rumusan Masalah
Berbagai masalah yang ada pada latar bekang di atas, penulis akan merumuskan masalah yang akan dibahas dalam tulisan adalah:
1. Sejauh mana ketersediaan sarana dan prarana, fasilitas, dan perangkat dalam mendukung pemanfaatan TIK bagi guru?
2. Seberapa tinggi tingkat penguasan dan kecakapan guru dalam penggunaan atau pemanfaatan TIK bagi guru?
3. Kebijakan dan upaya apa saja yang telah dilakukan oleh pimpinan sekolah dan pimpinan instansi terkait dalam penentukan kebijakan untuk mendukung pe-manfaatan TIK bagi guru?
4. Pendidikan dan pelatihan apa saja yang telah dilakukan guru dalam meningkat-kan kemampuan pemanfaatan TIK dalam proses pembelajaran?
5. Faktor-faktor apa yang menjadi kendala guru dalam pemanfaatan TIK?
BAB II
PEMBAHASAN
Membicarakan Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) oleh para guru dalam proses pembelajaran di sekolah tidak lepas dari berbagai unsur yang saling terkait sata sama lain, yaitu;
1. Sarana, prasarana, dan perangkat yang tersedia;
2. Tingkat penguasaan guru dalam pemanfaatan TIK;
3. Kebijakan pimpinan dalam mendukung pemanfaatan TIK;
4. Pendidikan dan pelatihan para guru; dan
5. Kendala-kendala guru dalam penggunaan TIK.
Kelima unsur yang terkait ini diuraikan per bagian dengan maksud nantinya diperoleh penjelasan, dan pada akhirnya diharapkan diperoleh pemahaman yang benar.
A. Sarana dan prasarana, falitas, dan perangkat pendukung pemanfaatan TIK
Beberapa sekolah kini telah telah memiliki laboratiorium komputer dan internet, khusus sekolah-sekolah yang berlokasi di kota atau tidak jauh dari perkotaan lebih lengkap fasilitas ini dibandingkan dengan sekolah yang berlokasi di pedesaan. Hampir seluruh kota dijumpai sekolah-sekolah yang telah menyediakan fasilitas laboratorium komputer dan internet. Namun dalam pemanfaatan TIK oleh para guru antara sekolah yang satu dengan yang lain tingkatannya sangat beragam, mulai dari yang sederhana sampai ada yang sudah optimal. Kondisi ini dapat dimengerti mengingat tingkat kemajuan sekolah masing-masing berbeda. Contoh konkrit seperti pada SMP Negeri 8 Palembang, dimana fasilitas komputer dan internet telah ada sejak tahun 2006 dan sudah melaksanakan praktek TIK bagi guru dan siswanya sebanyak 360 orang, namun pemanfaatan TIK bagi siswa masih sebatas pada mata pelajaran TIK, dan guru belum memanfaatan TIK dalam proses pengajaran mata pelajaran yang lain. Berbeda dengan sekolah yang ada di Jakarta, SD Negeri 3 Menteng telah menggunakan TIK dalam pembelajaran Sains dan Matematika. Banyak kasus lain tentang keberagaman tingkat pemakaian dan pemanfaatan TIK ini.
Dari data yang ditemukan diperoleh suatu kondisi dimana ada hal ironis dibeberapa daerah tentang fasilitas TIK ini, seperti kondisi yang ada pada Kecamatan Percut Sei Tuan, Medan. Di kecamatan ini ada sekolah dengan lokasi dimana di sana ada BTS (Base Transceiver Station) operator telekomunikasi berdiri megah di areal sekolahan, sementara guru dan siswa yang beraktivitas di sana sekali belum menggunakan atau memanfaatkan kemajuan TIK dalam proses pembelajaran maupun aktivitas lain oleh guru, dan dapat dikatakan para guru masih gagap teknologi (gaptek).
Kasus lain yang menarik di mana dalam suatu daerah masih ada pihak-pihak yang dalam menjalankan bisnisnya tidak begitu proaktif terhadap kemajuan dalam pemanfaatan TIK dalam dunia pendidikan. Seperti kasus yang terjadi di kawasan Deli Serdang, di sana masih ditemui perilaku tidak terpuji yang dilakukan oleh para penjual komputer, salah satunya adalah dengan menjual komputer dengan harga yang terlalu tinggi dan diluar harga kewajaran. Bayangkan ada supplier yang menjual komputer berbasis pentium III dengan harga lima juta rupiah lebih, padahal harga komputer tersebut selayaknya tidak akan lebih dari dua juta lima ratus ribu rupiah. Bisa jadi para suplier ini dalam berbisnis hanya mempertimbang-kan keuntungan belaka, tanpa adanya rasa kepedulian atas kemajuan pemanfaatan TIK di daerah tersebut.
Berkaitan dengan pengmbangn sarana dan prasarna untuk pemanfaatan Tik dalam dunia pendidikan dan kegiatan lain di sekolah, ada juga sebuah departemen yang kurang dalam hal perhatian, seperti yang di sampaikan oleh DH. Al Yusni anggota komisi VIII DPRRI yang melakukan kunjungan di Sulsel. Beliau mengatakan kini Departemen Agama dinilai hanya sigap menyikapi masalah haji, sementara menyangkut pengembangan madrasah terkesan sebelah mata, menurutnya ini sebagai tindakan diskriminatif. Dicontohkan oleh beliau, di Sidrap Sulawesi Selatan, guru-guru madrasah terkesan masih gagap menggunakan komputer, ini akibat minimnya perhatian dari Depag, termasuk kesejahteraan para guru madrasah. Ditambahkan oleh Al Yusni, Depag lebih perhatian pada masalah haji, daripada masalah pendidikan di bawah naungannya, mungkin karena masalah haji lebih banyak mengurusi uangnya.
Lain halnya dengan Depdiknas, dimana departemen yang berkepentingan langusung dengan dunia pendidikan ini telah dan akan mengadakan gebrakan yang berkaitan dengan pemanfaatan TIK dalam proses pembelajaran di sekolah dalam berbagai jenjang pendidikan. Depdiknas tahuan 2008 ini akan mengembangkan Jejaring Pendidikan Nasional. Contoh riil yang telah ada dalam hal ini adalah seperti sarana yang telah ditempatkan di Dinas Pendidikan Kabupaten Toba Samusir. Di sana jaringan internet selain dipakai untuk kebutuhan dinas, jaringan internet juga dibagi-bagi ke beberapa SMP, SMK, dan SMA lewat antena. Bandwidth dari Depdiknas internet ditempatkan di salah satu sekolah sebagai pengelola teknis, dan sekolah tersebut kemudian membaginya ke sekolah lain.
Pada sekolah-sekolah yang telah dibilang lebih maju, dan kebanyakan berlokasi di kawasan perkoataan, selain tersedianya laboratorium komputer dan internet, beberapa sekolah telah melenkapinya sarana lain yang berkaitan dengan proses pembeljaran, yaitu berbagai media elektronik lainnya. Seperti pada kondisi di SMAN 11 Kota Jambi, perangkat untuk pembelajaran kini juga lebih maju, telah tersedia perangkat modern seperti proyektor LCD yang dilengkapi laptop, ada pengeras suara di masing-masing kelas yang kesemuanya dikontrol oleh operator. Di sekolah ini pada setiap jam istirahat diperdengarkan lagu-lagu lewat speaker, dengan cara ini kejenuhan siswa setelah belajar bisa hilang.
Walaupun Depag ada yang mengatakan kurang dalam memberikan perhatian dalam pengembangan sarana TIK di madrasah-madrasah, tetapi di beberapa madrasah di Jawa Timur kondisi sekolah yang telah tersedia sarana komputer dan internet dibilang telah lebih maju. Di beberapa madrasah di Jatim diketahui bahwa jumlah package computer (PC) yang dimiliki di masing-masing madrasah cukup banyak, jumlanya berkisar antara 10 hingga 20 unit.
Ketersediaan sarana TIK sangat berpengaruh kepada guru dalam hal memilih varian sumber pembelajaran yang dipilih. Seperti yang dikemukakan oleh Mohammad Juri, MPd. (Madura, 14 Januari 2008) yang mengatakan ketidak variativan guru dalam memilih sumber belajar, diantaranya disebabkan oleh minimnya pengetahuaan dan kemampuan menggunakan media pembelajaran yang maju seperti penggunaan komputer. Seperti alasan-alasan yang umum disampaikan oleh para guru, misalnya tidak ada fasilitas komputer di sekolah, fasilitas yang tidak lengkap dikarenakan tidak dana untuk pengadaan, dan terlebih-lebih sikap guru yang kurang pro aktif dalam menghadapi kemajuan ICT.
Peran pengusana swasta dan BUMN sangat penting dalam mendukung dan memberikan suport dalam dunia pendidikan kaitannya dengan pengembangan TIK dalam dunia pendidikan. Contoh konkrit dunia bisnis yang peduli terhadap kemajuan pendidikan adalah seperti yang dinyatakan oleh Dekan FKIP UNRI Riau Drs. Isjoni, MSi, menyatakan ada salah satu perusahaan (PT Chevron Pasifik Indonesia) telah memberikan bantuan 15 unit komputer yang dilengkapi fasilitas internet ke instansinya untuk pelatihan para guru di Riau, khususnya guru yang masih menenputh kuiah di UNRI. Menurutnya semua guru diharapkan bisa belajar mengembangkan diri untuk menguasai teknologi, jangan sampai terjadi gagap teknologi, jangan sampai murid yang yang mengajari guru guru membuka internet.
B. Penguasaan Pemakaian Dalam Pemanfaatan TIK Bagi Guru
Dalam berbagai hasil penelitian dan tulisan mensinyalir ada sekitar 70 s/d 90% guru dalam pemanfaatan kemajuan TIK dalam proses pembelajaran dan kegiatan lain dianggap masih gagap teknologi. Jika kondisi ini benar demikian, alangkah menyedihkan dan bahkan menyakitkan, betapa tidak, sebab di tengah didengungkannya pembelajaran interaktif (e-learning) yang juga harus melibatkan guru-gurunya dalam bidang studi apapun, alangkah ironis kalau gurunya sendiri tidak pernah sedikitpun menjamah teknologi informasi yang kini telah merambah kesemua sisi kehidupan manusia atau dengan kata lain sudah mendunia.
Berbagai pernyataan para pejabat yang berwenang dalam dunia pendidikan menyatakan kondisi guru yang masih memprihatinkan dalam hal menggunakan komputer, apalagi internet. Seperpti yang dinyatakan oleh Manuntun Sagala dari Dinas Pendidikan Kabupaten Toba Samosir, guru kini banyak yang tidak fasih menggunakan komputer, apalagi internet. Para guru menggunakan komputer sekedar untuk mengetik dengan MS Word itupun tidak paham semua fasilitas di program itu, apalagi mendengar Email, Browsing web, dan lainnya guru merasa asing. Kondisi guru yang gagap TIK tidak hanya didominasi oleh para guru di luar pulau Jawa, seperti yang ditemukan di kasus Jawa Timur, di sana sebagian besar guru-guru yang mengajar di madrasah sangat sedikit yang memanfaakan komputer apalagi internet. Pada umumnya guru baru mampu menggunakan komputer hanya sebatas keperluan administrasi baik kepentingan kantor maupun kepentingan penyusunan PAK (Penetapan Angka Kredit) dalam kaitannya dengan kenaikan pangkat jabatan fungsional guru. Di Jatim ebagian besar guru belum terbiasa menggunaan internet baik untuk proses pembelajaran maupun kegiatan sosial lainnya.
Beberapa pakar TIK menyatakan bahwa sebenarnya manusia, termasuk guru mempunyai potensi kecakapan dalam hal penggunaan komputer dan internet dalam pemanfaatan TIK dalam proses pembelajaran dan kegiatan lainnya. Salah pakar tersebut menyatakan tersebut adalah Ersis Wirmansyah Abbas dari UNLAM, Banjarmasin, mengatakan bahwa kita oleh Alloh SWT batok kepala manusia berisi satu milyar sel saraf (neuron), setiap neuron aktif bisa berkoneksi dua puluh ribu, jadi orang (termasuk guru) jangan lagi self-image bodoh, karena pada hakekatnya kita semua adalah born to be a genius. Ini yang menggambarkan betapa guru-guru merasa kurang pede dalam penggunaan dan pemanfaatan TIK dalam proses pembelajaran maupun dalan kehidupan sosialnya. Ini dapat dimaklumi banyak guru masih gagap TIK dimungkinankan karena sudah tua, dan merasa sudah tidak perlu lagi belajar yang canggih, kadang bahkan menyerahkan hal ini kepada pada guru yang masih yunior. Ini mengingatkan kepada para instruktur pelatihan komputer dan TIK bagi para guru dalam penyampaiannya harus lebih pada praktek daripad teori.
PR IV UNNES Semarang, Prof. Fathur Rohkman mengatakan sekitar 60 % guru SD, SMP dan SMA belum familiar dengan komputer, terutama pendidika yang ada di pelosok dan pedesaan. Menurutnya dari pelatihan guru yang pernah diselenggarakan di UNNES, masih banyak guru yang belum tahu menggunakan mouse, padahal hampir semua kegiatan saat ini tidak bisa lepas dari komputer termasuk di bidang pendidikan. Dalam kesempatan yang sama Dr. Supriadi Rustad, PR I UNNES mengatakan, Indonesia baru sampai level applying menuju transforming, karena ICT masih dijadikan sebagai mata pelajaran dengan dimasukkannya ke dalam kurikulum sekolah. Masyarakat dikatakan pada levev integrating bila ICT untuk proses pembelajaran, sementara level transforming biada ICT untuk transformasi pendidikan.
Bagian yang sedikit dalam prosentase yang sudah maju dalam pemanfaatan TIK dalam proses pembelajaran memang telah ada di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Medan dan lainnya. Seperti yang ada pada salah satu di SD di Jakarta yaitu tepatnya di SDN Menteng 3, dimana setiap hari Rabu, murid 4A mendapat jatah untuk belajar di ruang laptop. Selama murid belajar dengan menggunakan laptop, proses belajar menjadi sangat efektif, tidak perlu mencatat materi pelajaran dari papan tulis, karena sudah tersistem pada laptop masing-masing. Murid tidak bosan, dan merasa senang karena banyak gambar menarik khususnya pelajaran sains. Setelah belajar Metematika dan IPA, boleh main game, buka internet dan kirim email. Game di sini masih ada hubungannnya dengan pelajaran.
Menurut pengakuan adari salah satu guru di SDN Menteng 3, Harry Pujianto mengaku mengajar dengan menggunakan laptop sangat menantang, menimbulkan rasa ingin tahu, dapat membedakan keberhasilan pembelajaran menggunakan laptop dibandingkan dengan pembelajaran menggunakan cara konvesional. Murid lebih menyukai pelajaran Matematika dan IPA. Kondisi ini sangat berlainan pada kondisi umumnya dimana siswa biasanya merasa takut dan tidak pede terhadap mata pelajaran yang berbau eksakta, atau pelajaran yang melibatkan hitung-menghitung, dan juga mata pelajaran yang menggunakan praktek dalam laboratorium seperti pembelajaran sains.
C. Kebijakan dan Upaya Pimpinan dalam Mendukung Pemanfaatan TIK
Kadang sebuah penghargaan maupun sertifikai bukan merupakan tujuan yang akan dicapai oleh sebuah lembaga sekolahan, tetapi penghargaan maupun sertifikai yang diterima dapat menjadi pendorong atau motivasi dalam pemanfaatan TIK oleh para guru, disamping sebagai kebanggaan akan identitas sebuah sekolah yang mempunyai keunggulan dalam berkompetitif dalam dunia pendidikan. Beberapa institusi atau lembaga baik provit maupun nonprovit dirasa perlu memberikan berbagai penghargaan stratafikasi untuk mendorong dan memacu sekolah untuk terus mengembangkan potensinya, khususnya dalam hal pemanfaatan TIK dalam proses pembelajaran yang melibatkan para guru yang terlibat langsung. Dilapangan ditemukan perusaan bisnis BUMN telah memberikan berbagai sertifikai yaitu PT Telkom, seperti yang terjadi pada sekolah yang telah berhasil dalam prestasi khusus, sekolah tersebut telah mendapatkan sertifikai, seperti SMP Negeri 8 Palembang sebagai sekolah bebas buta internet.
Peran pimpinan atau kepala sekolah sangat penting dalam memajukan sekolah, khususnya penguasaan para guru dalam pemanfaatan TIK. Pimpinan yang tidak sigap dalam adaptasi dengan perkembangan teknologi dapat mengakibatkan kebijakan yang menjadikan guru gagap teknologi, padahal ini bisa jadi mengakibatkan hilangnya daya tarik dalam proses belajar. Terlebih dalam era informasi ini, tanpa adanya kemauan untuk mengerti, menggunakan, dan mengakses bidang yang relevan dengan keilmuannya maka fungsi guru sebagai fasilitator perkembangan ilmu akan tereduksi yang lama-lama bisa jadi hilang, sehingga yang ada hanyalah guru yang miskin informasi.
Para kepala sekolah yang mempunyai komitmen terhadap kemajuan sekolahnya pasti melakukan langkah-langkah konkrit dalam memajukan guru dalam pemanfaatan TIK dalam pembelajaran. Di sekolah-sekolah yang berada di wilayah perkotaan lebih mudah dikembangkan daripada di pedesaan yang saran dan prasaranya kadang belum lengkap atau tersedia. Di SMAN 11 Kota Jambi misalnya, kepala sekolah dalam menerapkan dan menyambut serbuan beragam teknologi informasi, adalah dengan membekali para guru dengan kursus komputer dan internet, tidak hanya guru yang mengajar di labaratorium komputer saja yang harus mengerti perangakat tersebut, tetapi guru-guru bidang lain harus mengikuti. Kondisi ini diyakini berlaku pada sekolah-sekolah lain di tanah air ini.
Kebijakan yang kita acungi jempol adalah kepada Depdiknas, dimana departemen ini akan mempercepat pengadaan sarana TIK pada berbagai jenjang sekolah dengan akan meluncurkan anggaran 1 triliun pada tahun 2008 ini, gebrakan ini dilakukan dengan membangun berbagai pusat sumber atau resource center di sekolah-sekolah. Kebijakan Depdiknas ini seperti yang diungkap oleh Lilik Gani dari staff Depdiknas. Kita akan menunggu realisasi dari kebijakan ini, jika benar adanya harapan akan tanda-tanda keseriusan pemerintah memajukan dunia pendidikan akan terwujud, khususnya bidang TIK di dalam dunia pendidikan.
Beberapa sekolah sebenarnya telah proaktif dalam menyiapkan sarana, dengan kebijakan tertentu, sekolah dapat meluncurkan program maupun memulai aksi nyata. Seperti kini beberapa sekolah di kota Solo, mulai dan telah melaunching sarana laboratorium komputer multimedia untuk menyongsong era TIK dalam pendidikan dan telah menyiapan guru-gurunya dalam penggunaan atau pemanfaatannya pada pembelajaran, dan pada akhirnya akan menentukan program ini akan berjalan baik atau tidak.
Gebrakan kebijakan tidak cukup hanya pada tingkat dinas pendidikan, tetapi para kepala daerah baik itu gubernur ataupun bupati atau walikota harus mau dan sanggup mengeluarkan kebijakan yang signifikan dalam mamajukan dunia pendidikan khususnya dalam pemanfaatan TIK ini. Seperti pada pemda Tanah Datar, Sumbar, telah meluncurukan programnya yaitu untuk melengkapi fasilitas komputer di sekolah-sekolah, maka dilaksanakan program One School One Computer Laboratorium (OSOL) satu sekolah satu laboratorium komputer. Melalui progam ini diharapkan guru maupun siswa tidak gagap teknologi, khususnya dalam penguasaan ketrampilan komputer sebagai ciri kemajuan suatu masyarakat.
Kebijakan pemerintah juga dipertegas oleh Menko kesra, beliau mengatakan bahwa pemerintah pada tahuan ini akan mengalokasikan dana dari APBN sebesar 2 triliun untuk program satu komputer bagi 20 siswa di tingkat SMP dan SMA di seluruh Indonesia. Menurutnya sampai saat ini untuk murid SMA baru 1 banding 1000, ini belum komputer yang dapat dimanfaatkan oleh para guru.
Menurut Ari Kristianawati (Sinarharapan, 29 April 2008), para guru tidak hanya gagap dalam beradaptasi denagan kemajuan ilmu pengetahuan, mereka juga terjebak dalam kebiasaan menjadi robot kurikulum pendidikan, sehingga prakarsa dan inisiatif para guru untuk belajar menggali metode, bahanajar dan pola relasi belajar mengajar yang baru sangat minimalis. Rendahnya mutu atau kapabilitas guru di Indonesia, disebabkan pertama, faktor strutural, selama orba guru dijadikan bemper politik Golkar, agen pemenangan melalui Korpri dan PGRI. Kedua, kuatnya politik pendidikan, mengontrol arah dan sistem pendidikan membaut apara guru seperti root yang dipenjara melalui tugas-tugas kedinasan yang stagnan. Ketiga, rendahnya tingkat kesejahteraan guru, ini membuat mereka tidak bisa optimal dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, dan selalu mengurusi keluarga.
Dra. Rosmawati, MPd, Kepala SMPN 2 Dumai, menyatakan di institusinya telah dikembangkan rintisan sekolah bertaraf interasional (SBI) dengan menerapkan program bilingual dalam praktek belajar mengajar di sekolah. Khusus untuk guru mata pelajaran sains dan matematika, pemberian materi dengan menggunakan bahasa inggris, disamping itu guru diwajibkan menguasai pemanfaatan ITC.
D. Pendidikan, Pelatihan, Praktek Pemanfaatan TIK
Kebutuhan akan kemampuan para guru dalam pemanfaatan TIK dalam proses pembelajaran telah direspon sangat positi oleh beberapa ekolah. Kenyataan dilapangan ditemukan bahwa beberapa sekolah telah memberikan pelatihan dan atau mengirikan para guru menginkuti pelatihan komputer dan internet. Ini dilakukan oleh pimpinan sekolah dengan maksud agar para guru tidak gagap terhadap pemakaian komputer dalam pemanfaatan TIK. Seperti yang telah terjadi dan dilakukan oleh SMP Negeri 8 Palembang, tidak hanya guru pemegang mata pelajaran TIK yang dikirim mengikuti pendidikan pemanfaatan TIK, tetapi semua guru mata pelajaran juga dikirim untuk mengikuti pendidikan maupun pelatihan atau kursus.
Walaupun fasilitas internet sudah ada, guru-guru telah dikirim untuk mengikuti pelatihan dan kursus komputer dan internet, namun dilapangan ditemukan adanya kendala. Misalnya saja di beberapa sekolah di Kabupaten Toba Samosir, guru tidak dapat mengoptimalkan pemakaiannya, mengingat tidak adanya staf TI khusus yang ahli, sehingga berbagai kelemahan dalam penggunaan sarana TI oleh guru tidak ada sumber untuk bertanya. Ada kasus yang dirasa lucu, dimana guru menyuruh siswa ke warnet untuk belajar email, dan setelah siswa tersebut dapat menggunakannya, guru belajar pada muridnya.
Peran lembaga atau institusi dilura sekolah juga sangat diperlukan dalam andilnya dalam memajukan dunia pendikan dasar dan menengah. Mereka yang peduli telah turut aktif memberikan kemampuan para guru dalam menggunakan komputer maupun internet, seperti pada Jurusan Teknik Informatika FTI-ITS Surabaya telah mengadakan workshop pemrograman bagi 53 guru dari 12 madrasah dari 3 kota di Jatim. Menurut pemrakarsa kegiatan ini, ke depan para guru madrasah di Jatim tidak gagap teknologi lagi, karena mereka telah dilatih untuk mengaplikasikan piranti lunak (software) pembelajaran berbasis multimedia yang diharapkan dapat membantu mengembangkan pola pembelajaran bagi siswanya.
Tidak ketinggalan apa yang dilakukan oleh Pemda Kabupaten Merauke Papua, daerah paling timur wilayah Indoneisa ini telah mengadakan petihan komputer bagi guru-guru dan PNS walaupun materi masih dalam taraf tingakat dasar. Materi yang disajikan adalah mengenai aplikasi perkantorlan (word, excel, powerpoint, dan internet). Ini menunjukkan bahwa sebenarnya greget dari berbagai penentuk kebijakan di daerah dalam memajukan pendidikan dengan cara memajukan guru dalam kemampuan pemanfaatanTIK cukup baik.
Tidak hanya pelatihan praktis dan teknis dalam menndorong guru mau memanfaakan TIK yang ada dalam pembelajaran, tetapi kegiatan yang sifatnya mendorong dan memotivasi guru juga perlu diadakan secara terus menerus. Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jatim misalnya, lembaga ini telah mengadakan workshop Penelitian Tindakan Kelas bagi 150 guru di kabupaten Pasuruan, Jatim. Workshop ini dimaksudkan agar semangat para guru untuk menulis dan membaca lebih terpacu, semangat itulah yang akan otomatis mendorong guru bersinggungan dengan pemanfaatan TI, tukasnya.
Peran perguruan tinggi sebagai gudangnya para pakar dan ahli sudah selayaknya peduli atas usaha kemajua diinginkan oleh para guru. Seperti yang dilakukan UNILA Lampung, Drs. Rudi Ruswandi, Msi, Ketua Jurusan Matematika UNILA, Lampung menyatakan, institusinya telah menyelenggarkan pelatihan jejaring pendidikan nasional (jardiknas) se kota Bandar Lampung yang diikuti oleh 78 kepala sekolah. Para peserta diharapkan dapat mengambil manfaat dan kedepannya dapat melaksanakan program sekolah yang sinergis dengan jardiknas, juga dimaksudkan agar para guru dan kepala sekolah jangan sampai gagap teknologi dan tidak mampu memanfaatkan TIK.
E. Kendala Guru Dalam Penggunaan dan Pemanfaatan TIK
Beberapa kendala yang dihadapi guru dalam pemanfaatan TIK adalah adanya kendala internal, seperti kesibukan jam mengajar di berbagai tempat, maupun kendala eksternal seperti ketersediaan akses internet dan waktu pelatihan sendiri. Kendala internal dan eksternal tersebut sebenarnya hanyalah sebuah ”pembenaran” untuk tidak melakukan hal-hal yang dibutuhkan. Artinya, berpatokan pada peribahasa ”dimana ada kemauan disitu ada jalan” kita memang harus mempersiapkan diri menyongsong era baru dalam berkomunikasi dengan berbagai informasi yang ada.
Menurut Bona Simanjuntak, Aktivis Jaringan Informasi Sekolah (JIS), di salah satu kecataman di Deli Serdang, internet dan komputer menjadi barang yang terlalu mahal dan langka. Ia dan rekannya telah menggelar training on trainers (TOT) bagi guru-guru di kawasan sekolah kejuruan (SMK), dimana rasio komputer dengan siswa di daerah tersebut mencapai 1:100, artinya satu komputer untuk melayani kebutuhan 100 guru. Ada guru-guru di Deli Serdang terpaksa mengajar komputer dengan imajinasi dan penjelasan verbal saja, kendala ini disebabkan oleh tidak adanya fasilitas komputer sungguhan untuk digunakan siswa, padahal belajar komputer lebih efektif melalui praktek.
Menurut Drs. Isjoni Ishaq, dekan FKIP UNRI Riau, kendala para guru dalam penggunaan komputer dan TIK adalah ketidakmampuan guru dalam berbahasa inggris, dimana bahasa inggris sangat dominan dipakai dalam pengoperasional komputer dan TIK. Hal ini ditekankan mengingat guru punya andil besar dalam mencerdaskan anak bangsa. Beberapa siswa di Surabaya mengaku merasa lebih lihai (pandai) dalam hal penggunaan telepon seluler, ini terbukti dalam berbagai rasia yang dilakukan oleh sekolah terhadap gambar porno maupun video porno yang ada di ponsel siswa, ternyata banyak yang lolos, tak terdeteksi, mengingat guru banyak yang tidak pengalaman dalam hal pemakaian ponsel yang canggih daripada siswanya. Mungkin ini disebabkan oleh daya beli guru terhadap model HP lebih rendah dari pada orang tua siswa dalam beberapa kasus. Ini sebenarnya kendala yang yang tidak kentara bagi guru dalam hal pemanfaatan TIK kaitannya dengan penggunaan ponsel oleh siswa.
Menurt Doni B.U., Msi., kini telah ada kesenjangan digital sebagai isu science fiction semata yang diciptkan oleh sekelompok ekslusif manusia pemuja teknologi informasi, atau ada menyebut sebagai digital divide. Menurutnya kesenjangan digital akhirnya hanya dipahami sebagai gap antara pemilik/ pengguna teknologi (the haves) dan mereka yang tidak memiliki atau mengunakan teknologi. Kaum the have diyakini sebagai pihak pertama yang mengada-ada adanya istilah kesenjangan teknologi yang mengkontraskan kelompok kedua. Hal ini bisa menimbulkan rasa pesimistik bagi para guru dalam penggunaan dan pemanfaatan TIK. Baskoro, dari Lembaga Pendidikan Kolose Kanisius mengatakan bahwa guru kadang dituntut agar cepat beradaptasi dengan misi dan visi institusi yang menurut pemahamannya terlalu berat bagi guru, karena tidak memulai dari tahapan yang tepat dalam peningkatan penguasaan penggunaan TIK bagi guru, sementara tuntutan dan target sekolah ke jenjang nasional, bahkan internasional sebagai hal yang kontradiktif.
Agus Nasihin, pebisnis komputer, mengatakan bahwa sekarang guru dihadapkan peda bayangan bahwa mengunakan komputer dapat mempermudah keperluan hidup, sementara pada sisi lain dimunculkan isu bahwa penggunaan koomputer adalah sebagai apresiasi penghargaan terhadap para genius man yan membuat komputer itu sendiri. Ini kedengaran lucu memang, ada orang mengatakan menggunakan komputer itu identik sebagai bentuk menglarisi produk komputer. Ini gawat, guru bisa pasif dan apatis dalam pemanfaatan TIK. Masih ada guru yang beranggapan tidak menggunakan komputer dan TIK dalam proses pembelajaran bukan hal mengganggu jalannnya pelajaran, karena guru merasa tidak mendapatkan fasilitas komputer saat mengajar, jadi inilah yang membuat mereka merasa tidak perlu untuk tahu cara menggunakan komputer. Kasus ini terjadi pada guru-guru yang sudah berusia tua, walaupun yang guru yang yunior pun masih ada yang gagap pada kemanjuan TIK.
Menurut Machfud dari Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Jawa Timur (20 April 2008), dilema yang muncul di lapangan, dari berbagai upaya yang telah dilaksanakan untuk membantu para guru mengenala TIK, terganjal di tengah jalan, penyebabnya adalah;
1. Takut akan kesalahan yang diperbuat, sehingga dapat mengakibatkan kerusakan media;
2. Merasa usianya sudah tua, sehingga kurang bermanfaat bagi dirinya;
3. Kurang memahami bahasa teknik TI (bahasa inggris);
4. Banyaknya rutinitas di luar pelajaran TIK.
Menurut Gunawan (Jawa Pos, 26 Januari 2008), di lapangan tenaga pendidik hanya banyak disuguhi berbagai diklat, pelatihan dengan materi yang berkisar pada kurikulum, pakem (contextual learning), MBS (manajemen berbasis sekolah) dan materi lain yang berhubungan langsung dengan tugas guru di kelas. Jarang ada pelatihan guru yang bersifat pembekalan tentang suatu ketrampilan atau keahlian khusus, misalnya aplikasi TIK, padahal pelatihan seperti ini tidak kalah penting dan bermanfaat bagi guru, terutama guru yang masih gagap teknologi. Menurutnya ada beberapa faktor yang menjadikan para guru masih gagap TIK, pertama, Lokasi, bagi guru yang mengajar di daerah terpencil, teknologi canggih seperti komputer bukanlah sesuatu yang urgen untuk dikuasai karena kebutuhan untuk menggunakan sangat rendah. kedua, kesadaran yang asih rendah mengenai mengenari ati penting teknologi untuk menunjang profesi guru dalam menyelesaikan tugas, Ketiga, tidak adanya eksempatan dan peluang untuk bisa lebih dekat dengan teknologi canggih.
Menurut TH Aribowo, Guru SMKN 3 Banjarbaru, Kalsel (Radar Banjarmasin. 28 Maret 2008) faktor penghambat guru dalam memanfaatkan ICT adalah pertama, ketidakadanya komputer baik laptop maupun PC sehingga dirasa masih belum seimbang peralatan yang disediakan di sekolah sementara komputer pribadi belum punya. Kedua, adalah faktor penghampat yang ada hubungannya dengan rasa malas karena tidak adanya waktu untuk mempelajari. Ini terjadi karena guru yang baik dan benar harus menguasai 10 kompetensi guru, waktu 24 jam masih kurang karena banyaknya kewajiban yang hrus dipenuhi.
BAB III
KESIMPULAN
 Guru yang merupakan salah satu bagian terpenting dalam proses pembelajaran di sekolah sebenarnya memerlukan berbagai piranti dalam mengoptimalkan pemanfaatan TIK dan Komunikasi in untuk mendukung kemampunnya yang diperlukan khususnya dalam operasional perangkat TIK tersebut. Berbagai hasil penelitian menunjukkan kini masih banyak guru yang masih gagap dalam pemakian komputer dalam mengakses informasi dan pemanfaatannya dalam proses pembelajaran.
 Pemamfaatan TIK dalam proses pembelajaran dan juga dalam kegiatan lain yang meliputi:
1. Sarana-prasarana, fasilitas, dan perangkat;
2. Kebijakan pimpinan sekolah dan pimpinan lembaga terkait;
3. Kemampuan dan kecakapan dalam pemanfaatan TIK;
4. Pendidikan dan pelatihan, kursus yang telah dimiliki guru; dan
5. Berbagai kendala yang dialami para guru dalam pemanfaatan TIK.
 Beberapa sekolah kini telah telah memiliki laboratiorium komputer dan internet, khusus sekolah-sekolah yang berlokasi di kota atau tidak jauh dari perkotaan lebih lengkap fasilitas ini dibandingkan dengan sekolah yang berlokasi di pedesaan. Hampir seluruh kota dijumpai sekolah-sekolah yang telah menyediakan fasilitas laboratorium komputer dan internet. Namun dalam pemanfaatan TIK oleh para guru antara sekolah yang satu dengan yang lain tingkatannya sangat beragam, mulai dari yang sederhana sampai ada yang sudah optimal. Kondisi ini dapat dimengerti mengingat tingkat kemajuan sekolah masing-masing berbeda.
 Dalam berbagai hasil penelitian dan tulisan mensinyalir ada sekitar 70 s/d 90% guru dalam pemanfaatan kemajuan TIK dalam proses pembelajaran dan kegiatan lain dianggap masih gagap teknologi. Jika kondisi ini benar demikian, alangkah menyedihkan dan bahkan menyakitkan, betapa tidak, sebab di tengah didengungkannya pembelajaran interaktif (e-learning) yang juga harus melibatkan guru-gurunya dalam bidang studi apapun, alangkah ironis kalau gurunya sendiri tidak pernah sedikitpun menjamah teknologi informasi yang kini telah merambah kesemua sisi kehidupan manusia atau dengan kata lain sudah mendunia.
 Kadang sebuah penghargaan maupun sertifikai bukan merupakan tujuan yang akan dicapai oleh sebuah lembaga sekolahan, tetapi penghargaan maupun sertifikai yang diterima dapat menjadi pendorong atau motivasi dalam pemanfaatan TIK oleh para guru, disamping sebagai kebanggaan akan identitas sebuah sekolah yang mempunyai keunggulan dalam berkompetitif dalam dunia pendidikan.
 Kebutuhan akan kemampuan para guru dalam pemanfaatan TIK dalam proses pembelajaran telah direspon sangat positi oleh beberapa ekolah. Kenyataan dilapangan ditemukan bahwa beberapa sekolah telah memberikan pelatihan dan atau mengirikan para guru menginkuti pelatihan komputer dan internet.
 Beberapa kendala yang dihadapi guru dalam pemanfaatan TIK adalah adanya kendala internal, seperti kesibukan jam mengajar di berbagai tempat, maupun kendala eksternal seperti ketersediaan akses internet dan waktu pelatihan sendiri. Kendala internal dan eksternal tersebut sebenarnya hanyalah sebuah ”pembenaran” untuk tidak melakukan hal-hal yang dibutuhkan. Artinya, berpatokan pada peribahasa ”dimana ada kemauan disitu ada jalan” kita memang harus mempersiapkan diri menyongsong era baru dalam berkomunikasi dengan berbagai informasi yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.sunarnomip.staff.ugm.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=13&Itemid=26 - CommentForm
http://annajah.info/index.php
http://mpiuika.wordpress.com/2010/01/tiga-fase-islamisasi-ilmu-pengetahuan-kontemporer/
http://mujtahid-komunitaspendidikan.blogspot.com/2010/02/pemikiran-ismail-raji-al-faruqi.html
MAJALAH ISLAMIA. “Epistemologi Islam dan Problem Pemikiran Muslim Kontemporer”. Thn II No. 5 April-Juni 2005.
MAJALAH ISLAMIA. “Membangun Peradaban Islam dari Dewestranisasi Kepada Islamisasi Ilmu Pengetahuan”. Thn II No. 6, Juli-September 2005.
Nama : Uswatun Khasanah, S.HI
NIM : 26.10.7.3.069
Mata Kuliah : Isu-Isu Dalam Pendidikan Islam
Pengampu/Dosen : Drs.H.Rohmad, M.Pd,Ph.D

DUALISME DALAM PENDIDIKAN
Dalam menangani arus globalisasi, kemodenan dan pembangunan, dikenali juga dengan zaman kepesatan maklumat tanpa sempadan, pendidikan memainkan peranan penting yang amat mencabar sekali dalam kehidupan umat manusia. Tanpa pendidikan, manusia tidak akan mengenal huruf, tidak mampu membaca dengan baik dan tidak mempunyai pengetahuan sama ada secara formal, informal maupun non-formal. Pembentukan modal insan sebahagian besarnya dapat dinilai melalui pendidikan. Justeru dengan sentiasa menitikberatkan pendidikan ke dalam diri individu umumnya dan masyarakat khususnya akan membawa kepada perkembangan positif terhadap negara. Walau bagaimanapun, pendidikan agama perlu diterapkan ke dalam pendidikan umum supaya manusia khususnya umat Islam tidak akan mudah terpesong daripada ajaran Islam yang mencakupi aspek akhlak, akidah dan syariah.
Namun sejak berdekad-dekad yang lalu, hampir semua negara Islam mengamalkan sistem pendidikan yang berbentuk dualisme, iaitu dua aliran pendidikan yang dikenali sebagai aliran sekolah kebangsaan dan aliran sekolah agama. Matlamat dan tujuan kedua-dua sistem dan bentuk pendidikan ini amat jauh berbeza serta menimbulkan jurang pemisahan antara pelajar kedua-dua aliran tersebut. Aliran sekolah kebangsaan yang semua subjek pelajarannya bersifat duniawi, lebih menekankan penguasaan ilmu-ilmu akademik dan ketrampilan, namun kurang menumpukan aspek kerohanian dan mental para pelajar sehingga akhirnya akan menimbulkan kekosongan jiwa. Natijahnya lahirlah pelajar yang tidak ada keseimbangan antara kehidupan duniawi dengan ukhrawi. Sekolah aliran agama pula hanya menumpukan subjek yang hanya bersifat keagamaan semata-mata tanpa memberikan perhatian yang secukupnya terhadap pendidikan umum, akan melahirkan generasi yang hanya pandai dalam bidang agama, tetapi tidak mempunyai bekalan dalam pengetahuan umum yang mencukupi serta ketrampilan yang cukup dalam menghadapi cabaran dunia yang semakin maju. (Gamal Abdul Nasir, 2003). Justeru sebelum mengupas lebih lanjut mengenai isu ini, perlu diketahui apakah sebenarnya yang dimaksudkan dengan istilah dualisme dalam pendidikan.
DEFINISI ISTILAH DUALISME PENDIDIKAN
Menurut Kamus Dewan Edisi Baru (cetakan ketiga, 2002), istilah dualisme membawa maksud ‘teori yang berasaskan dua dasar yang berlainan’ atau ‘perihal yang mendua, sesuatu yang berasaskan dua hal yang bertentangan.’ Sementara pendidikan pula membawa makna ;
a) Perihal mendidik; Ilmu pendidikan, ilmu mendidik pengetahuan mendidik, ilmu didik; didikan, latihan, ajaran (Kamus Dewan edisi ketiga, 2002)
b) Proses belajar dan mengajar; pengalaman menerima (ajaran, latihan, didikan); bentuk, kaedah, perihal mendidik (dalam ajaran, latihan, didikan). (Kamus Bahasa Melayu, 1997)
c) Tarbiyah, pengajaran, pengasuhan, penjagaan. (Tesaurus Melayu Moden Utusan, 2001).
Apabila dicantumkan istilah dualisme dalam pendidikan ditakrifkan seperti berikut ;
a) ...wujudnya dua sistem pendidikan yang berbeza iaitu sistem pendidikan tradisional Islam dan sistem pendidikan moden. Sistem pendidikan tradisional Islam lebih menumpukan perhatiannya terhadap ilmu-ilmu keagamaan semata-mata dengan mengabaikan ilmu-ilmu moden. Manakala sistem pendidikan moden hanya menitikberatkan ilmu-ilmu moden dengan mengabaikan ilmu-ilmu keagamaan. (Abdul Halim Ramli, dalam rencana tulisannya, Memecah Dualisme Hamoniskan Ilmu : Reformasi Sistem Pendidikan Menurut Perspektif Syeikh Mohamad Abduh dan Sayyid Ahmad Khan).
b) ...masalah masyarakat Islam rata-rata, bukan sahaja di Malaysia, ialah kita telah mewujudkan dualisme di antara ilmu wahyu atau naqliah dengan ilmu aqliah ataupun ‘sciences’. (Dato’ Seri Najib Tun Razak, bekas Menteri Pendidikan Malaysia, kini Timbalan Perdana Menteri Malaysia).
c) ...program pendidikan yang dimajukan di Barat tidak sesuai untuk masyarakat negara ini kerana program tersebut mengamalkan prinsip dualisme dan sekularisme yang memisahkan ilmu keduniaan dan ilmu agama. (Nik Azis Nik Pa, dalam bukunya, Program Pendidikan pintar Cerdas : Teori dan Praktik).
Berdasarkan tiga definisi di atas, dualisme dalam pendidikan secara ringkasnya ialah pengasingan di antara ilmu agama dengan ilmu selain agama, iaitu ilmu yang mempunyai berbagai definisi; ilmu moden oleh Abdul Halim Ramli, ilmu sains oleh Dato’ Seri Najib dan ilmu keduniaan oleh Nik Azis. Walaupun istilah tersebut ditakrifkan dalam pengertian yang berbeza, ia tetap datang dari satu punca iaitu Barat, akibat kesan penjajahan misalannya Belanda di Indonesia, British di Malaysia bahkan di Brunei sendiri apabila kuasa British bertapak di Brunei, ia tidak cuma mengubah sistem politik, pentadbiran, ekonomi dan undang-undang, malah secara tidak langsung mempengaruhi sistem pendidikan Brunei. Pihak British telah memperkenalkan sistem pendidikan sekular berbentuk formal kepada masyarakat Brunei dan ini telah menjadikan dualisme sistem pendidikan di Brunei sejak kurun ke 20 Masehi, iaitu sistem pendidikan ugama Islam dan pendidikan sekular. (Asbol Mail, 2006)
INTIPATI DUALISME DALAM PENDIDIKAN
Kedua-dua sistem pendidikan iaitu pendidikan umum (atau pendidikan sekular) dan pendidikan Islam ini adalah antara warisan yang ditinggalkan oleh penjajah, sebagai usaha untuk memecahbelahkan umat Islam dan bertujuan untuk memisahkan antara agama dengan ilmu umum, yang pada akhirnya akan meluaskan jarak antara kedua-duanya. Di Indonesia sebagai misalnya sehingga kini masih mengamalkan dualisme dalam sistem pendidikan. Akibatnya pendidikan diurus dan ditadbir oleh dua kementerian. Kementerian Pendidikan mengurus dan mentadbir sekolah umum daripada tadika hingga peringkat universiti. Sedangkan Kementerian Agama pula mengelola dan mengurus sekolah agama seperti madrasah dan pesantren, daripada tadika hingga peringkat universiti. Oleh sebab pendidikan diurus dan ditadbir oleh dua kementerian, sudah pasti ini memberikan impak dalam pembiayaan dan pengurusan ke atas kedua-dua aliran sekolah tersebut. Apa yang pasti sekolah umum yang diurus dan ditadbir oleh Kementerian Pendidikan mendapat peruntukan dan perbelanjaan yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan sekolah agama.
Hal ini juga membabitkan penyediaan prasarana pendidikan dan guru yang terlatih. Ada anggapan sesetengah masyarakat bahawa sekolah agama dan lulusannya digolongkan dalam kelas kedua, kerana dikaitkan dengan kedaifan dan kekurangannya serta peluang pekerjaan bagi para lulusannya. Jika di bandingkan dengan Negara Brunei Darussalam memang tidak jauh berbeza. Pendidikan agama Islam merupakan sistem pendidikan yang mengajarkan aspek keugamaan seperti mengaji Al-Qur’an, belajar hukum-hakam Islam, ibadat, sejarah Islam dan sebagainya. Dan secara formalnya, setiap kanak-kanak Islam akan mengikuti kelas persekolahan agama pada sesi sebelah petang bermula dari pra-sekolah hinggalah darjah enam sahaja, yang agak terbatas waktunya meskipundiajarkan secara konsisten. Pembelajaran secara teori banyak diajarkan oleh guru-guru agama disamping pembelajaran secara praktikal seperti solat Zuhur dan Asar, ada kalanya turut diamalkan setiap hari waktu persekolahan. Matlamat utama sistem pendidikan ini adalah semata-mata untuk membentuk umat manusia yang beriman kepada Allah agar kehidupan mereka berbahagia di dunia dan di akhirat.
Sementara itu, sistem pendidikan sekular (atau pendidikan umum) yang rata-ratanya diajarkan pada sesi sebelah pagi di kebanyakan sekolah di negara ini adalah sistem persekolahan yang mengajarkan mata pelajaran-mata pelajaran seperti matematik, sains, geografi, bahasa, sejarah, perdagangan, lukisan, komputer dan sebagainya. Sistem pendidikan seumpama ini memang dijalankan di kesemua sekolah-sekolah Melayu, Inggeris, Cina, sekolah misi, bahkan di peringkat pendidikan teknik dan vokasional hinggalah peringkat institusi pengajian tinggi. Dalam aspek pengajarannya, hubungan dengan unsur-unsur keagamaan agak kurang dipentingkan ataupun langsung tidak diambil kira.
Sebelum wujudnya persekolahan Melayu, masyarakat Brunei telahpun mempunyai sistem pendidikan Islam walaupun tidak secara formal. Kebanyakan sarjana berpendapat bahawa pendidikan tersebut dipercayai sudah bermula serentak dengan proses Islamisasi pada masyarakat tempatan. Fenomena ini tidak hanya berlaku di Brunei, bahkan terjadi juga pada negeri-negeri lain di rantau nusantara ini seperti Indonesia, Malaysia (tanah Melayu) dan Filipina. Hal ini berlaku kerana hanya menerusi pendidikan sahaja ajaran Islam dapat difahami dan dilaksanakan. Dengan adanya kefahaman ini barulah mereka dapat menjalani kehidupan harian sebagai seorang muslim yang sempurna. Oleh sebab itulah Islam mewajibkan kepada umatnya agar menuntut ilmu khasnya ilmu agama bagi meneguhkan pegangan terhadap Islam. Ilmu keduniaan pula terutama yang boleh mendatangkan kebajikan kepada umat manusia memang digalakkan oleh Islam untuk dipelajari bersama. (Asbol Mail 2006)
PERBEDAAN DUALISME PENDIDIKAN DENGAN SISTEM PENDIDIKAN BERSEPADU
Sistem dualisme dalam pendidikan adalah berbeza dengan sistem pendidikan bersepadu. Jika sistem dualisme memisahkan dan mengasingkan antara pendidikan agama dengan pendidikan umum, sistem pendidikan bersepadu pula menyatukan dan mengintegrasikan pendidikan agama dengan pendidikan umum. Pendidikan bersepadu juga dikenali dengan istilah Pendidikan Integral. Di antara lain definisi Pendidikan Bersepadu yang dikemukakan oleh beberapa tokoh pendidikan Islam ialah seperti berikut ;
a) Pendidikan yang menekankan kepada kesatuan ilmu pengetahuan; bukan pendidikan yang menekankan kepada pemangsaan (pemetakan) ilmu atau bukan pendidikan bersifat khusus, berikhtisas sempit atau kevokasian. [Profesor Shaharir]
b) Seluruh proses pendidikan dan perkembangan ilmu tidak terpisah daripada tauhid, sama ada rohani, jasmani dan akli. Coraknya adalah bersepadu; lantaran itu segala ilmu bersifat kudus dan sekaligus penglibatannya adalah ibadat bagi manusia. [Dr. Abdul Halim Muhammad]
c) Pendidikan yang bersumberkan al-Quran dan al-Hadis, disamping adanya integrasi disiplin-disiplin ilmu akal ke arah membina komuniti umat yang berteraskan akidah. [Tajul]
d) Pendidikan yang menyatukan jiwa dan raga, dunia dan akhirat yang bersumberkan al-Quran dan al-Sunnah, dilandasi oleh semangat tauhid, serta keserasian antara iman, ilmu dan amal. [Mohammad Natsir]
Berdasarkan definisi yang dikemukakan, pendidikan bersepadu boleh disimpulkan dengan ciri-ciri khas berikut ;
a) Pendidikan yang bersumberkan al-Quran dan al-Sunnah.
b) Pendidikan yang berteraskan tauhid.
c) Adanya integrasi antara iman, ilmu dan amal.
d) Tidak ada pemisahan antara konsep ilmu agama dan ilmu dunia, dan tiada pemisahan antara pendidikan agama dan pendidikan umum. (Gamal Abdul Nasir, 2003)
Dualisme pendidikan pula lebih mementingkan satu aspek pendidikan sahaja iaitu sama ada lebih menjurus kepada pendidikan agama ataupun lebih memfokus kepada pendidikan umum. Kedua-dua jenis pendidikan tersebut tidak disatupadukan sama sekali. Akibatnya tiada keseimbangan antara pendidikan agama dengan pendidikan umum. Mereka yang menceburi bidang pendidikan agama akan lebih mahir dalam bidang keagamaan (hukum hakam, fiqh ibadat dan mu’amalat, fardhu ‘ain dan fardhu kifayah) tanpa sedikitpun mengambil berat keperluan pendidikan umum sebagai ilmu pengetahuan tambahan yang perlu ada bagi setiap individu. Manakala mereka yang mempelajari bidang pendidikan umum seperti ilmu matematik, ilmu perubatan, sains, geografi dan sebagainya akan mempunyai kemahiran dalam bidang masing-masing tetapi tidak dicampuri dengan ajaran Islam yang syumul dan kamil. Pendidikan umum (atau pendidikan sekular) dikatakan lebih tertumpu kepada hal ehwal urusan keduniaan, sebaliknya pendidikan agama pula lebih banyak menguasai bidang ibadat dan hal ehwal akhirat. Maka atas sebab itulah pendidikan agama dipisahkan daripada pendidikan umum secara keseluruhan memandangkan faktor perbezaan tersebut.
IMPLIKASI DUALISME DALAM PENDIDIKAN
Kalau ditinjau secara rambang, memang tidak dinafikan kemajuan sesebuah negara banyak dibangunkan oleh unsur-unsur pendidikan umum, sama ada dari segi ekonomi, sosial, kebudayaan, hubungan antarabangsa, dan sebagainya. Sungguhpun begitu, faktor pendidikan agama perlu diselaraskan dan dititikberatkan agar segala perancangan dan tindakan tidak menyimpang dari landasan yang lurus dan betul. Begitu juga dengan aspek pendidikan secara khusus perlu ada integrasi antara agama dan ilmu umum. Salah seorang tokoh pembaharuan Islam yang banyak berkecimpung dalam bidang pendidikan iaitu Muhammad Abduh melihat adanya bahaya dalam sistem pendidikan yang bersifat dualisme antara madrasah-madrasah (sekolah-sekolah) yang hanya memberikan pelajaran pengetahuan agama yang hanya akan melahirkan golongan ulama’-ulama’ yang tidak mempunyai pengetahuan ilmu-ilmu moden, dengan sekolah-sekolah moden yang mengeluarkan ahli-ahli dalam berbagai bidang keilmuan dan kemahiran yang sedikit pengetahuan agamanya. Lantaran dengan memasukkan ilmu pengetahuan moden ke dalam sekolah-sekolah (khususnya Universiti Al-Azhar) dan dengan memperkuat didikan agama di sekolah-sekolah, maka jurang yang memisahkan golongan ulama’ dari golongan ahli ilmu akan dapat diperkecilkan.
Secara globalnya, impak yang negatif besar kemungkinan akan wujud melebihi kesan positif sekiranya diamalkan sistem dualisme ke dalam pendidikan. Ini kerana golongan cendekiawan dan ilmuwan yang lahir dari dua sistem pendidikan yang didiskriminasikan ini akan saling bersaing antara satu sama lain, bukan dalam keadaan yang membina bahkan mungkin menjatuhkan sesama sendiri walaupun beragama Islam. Inilah yang akan menyebabkan konflik pemikiran yang tidak selari malah bertentangan dengan ajaran Islam.
KESIMPULAN
Faktor pembaratan telah menyebabkan ramai kalangan masyarakat Islam menjadi dualistik. Sejarah tamadun Islam telah menunjukkan bahawa ilmu dan pendidikan Islam berlaku secara integratif. Ilmu mengurus diri seperti akidah, ibadah, akhlak dan syariah mendasari ilmu-ilmu mengurus sistem. Faktor penjajahan di dunia Islam pula dan faktor kemerosotan tamadun Islam kian hari menyebabkan ilmu dan pendidikan tersisih dari nilai fitrah. Ilmu dan pendidikan tumbuh dalam binaan asas yang menolak faktor pendidikan rabbani. Akhirnya ilmu dan pendidikan menjadi sekular dan melahirkan para pelajar yang melihat faktor duniawi mengatasi segala-galanya. Umumnya pertimbangan agama tidak dijadikan pertimbangan utama dalam penyuburan ilmu dan pembangunan pendidikan, seterusnya menyebabkan fahaman sekular berkembang.
Dalam pada itu, faktor globalisasi yang sedang berjalan disamping faktor positif yang boleh dimanfaatkan pula menjadikan umat Islam terjebak dalam proses pembaratan. Penjajahan pemikiran, gaya hidup, ekonomi dan teknologi langit terbuka amat ketara berlaku dalam kehidupan orang-orang Islam khususnya di kalangan generasi muda. Menyingkap beberapa faktor tersebut, sebagai jawapan yang terbaik terhadap cabaran globalisasi kini ialah proses Islamisasi. Islamisasi tidak menolak kepentingan ilmu sains dan teknologi, ekonomi dan kewangan, pengurusan dan penyelidikan, dan seumpamanya. Bahkan asas nilai dan agama menjadi teras dalam rangka ilmu dan pendidikan itu sendiri. Islamisasi adalah satu proses jangka masa yang panjang yang memerlukan rangka ilmu dibangunkan secara sistematik supaya wujud asas epistemologi (ilmu) yang sepadu dan seimbang, dan asas metodologi (kaedah-kaedah) yang mampu membangunkan modal insan yang holistik.
Institusi yang mendukung Islamisasi perlu dikembangkan disamping ‘literature’ (kesusasteraan) atau bahan kajian dan penulisan perlu disuburkan agar sumber-sumber ini dapat mengukuhkan proses pendidikan yang sedang berjalan. Secara jangka panjangnya, setiap disiplin ilmu didukung oleh falsafah, nilai dan tasawwur (gambaran) yang tidak sahaja mendukung maksud fikir dan zikir. (Prof Dr Sidek Baba, 2006)
Kesimpulannya, pendidikan agama yang bersumberkan kepada Al-Qur’an dan Hadith adalah sebenarnya menjadi tunjang kepada semua pendidikan umum yang ada di dunia. Ertinya ilmu-ilmu yang ada di dunia ini selain daripada agama Islam pokok pangkalnya memang berasal daripada agama Islam itu sendiri, dan mempunyai hubungkait yang rapat antara satu sama yang lain. Kesemuanya termaktub di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadith sebagai perlembagaan Islam yang berharga hingga ke akhir zaman. Secara keseluruhannya dapatlah dirumuskan menerusi petikan ayat Al-Qur’an dalam Surah al-Maidah : ayat 48, Allah telah berfirman yang mafhumnya ;

“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, iaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu. Kami berikan peraturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki nescaya kamu dijadikanNya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberianNya kepadamu, maka berlumba-lumbalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allahlah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukanNya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.”
RUJUKAN (BIBLIOGRAFI)
1. Al-Qur’an Dan Terjemahnya Juz 1 – 30 (1997). Kuala Lumpur : Pustaka Antara Sdn Bhd.
2. Abdullah Hassan & Ainon Mohd (2001). Tesaurus Melayu Moden Utusan, Kuala Lumpur: Utusan Publications & Distributors Sdn Bhd.
3. Ammar Fadzil (2007). Anatomi Al-Quran Mengenal Ilmu, Sejarah & Kandungan Al-Quran Selangor : PTS Publications & Distributors Sdn Bhd.
4. Arbak Othman (1997). Kamus Bahasa Melayu. Shah Alam : Penerbit Fajar Bakti Sdn Bhd.
5. Dr Abdurrahman Salleh Abdullah (1990). Teori-teori Pendidikan berdasarkan Al-Qur’an Jakarta : Rineka Cipta.
6. Dr Hj Maimun Aqsha bin Hj Abidin Lubis (1999). Tajuk-Tajuk Falsafah Pendidikan Islam
Brunei : Pusat Teknologi Pendidikan, UBD.
7. Gamal Abdul Nasir Zakaria (2003). Mohammad Natsir Pendidik Ummah. Bangi : Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia
8. H. Abuddin Nata (2001). Paradigma Pendidikan Islam. Jakarta : Penerbit PT Gramedia
Widiasarana.
9. Hj Awg Asbol bin Hj Mail (2006). Sejarah Perkembangan Pendidikan di Brunei 1950 – 1985 Bandar Seri Begawan : Pusat Sejarah Brunei, KKBS.
10. Kamus Dewan Edisi Ketiga (2002). Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka.
11. Prof Dr Sidek Baba (2006). Pendidikan Rabbani Mengenal Allah melalui Ilmu Dunia. Selangor: Karya Bestari Sdn Bhd.
12. Rammani Karupiah (2001). Kursus Lengkap Sarjana STPM Sejarah Kertas 940/1 Tamadun Dunia. Selangor : Pustaka Sarjana Sdn Bhd
13. Zahazan Mohamed & Ahmad Hasan Mohd. Nazam (2007). 300 Hadis Bimbingan Ke arah mencari reda Allah. Kuala Lumpur : Telaga Biru Sdn Bhd